"Kalau tangannya ada cermin, genggam cermin. Itu fungsinya ngasih kode ke Belanda daerah tersebut kalau sudah dipantulkan sinar dari cermin nanti nggak begitu lama ada pesawat Belanda nge-bom wilayah tersebut."
"Nah ceritanya beliau itu, beliau men-survey kayak gitu," papar Thoric.
Kepada Thoric, Pak Min menceritakan, dulu hampir setiap hari ia melihat mayat tergeletak di pinggir jalan.
"Beliau itu menceritakan, 'dulu itu setiap hari di daerah Donohudan tempatku itu 15-20 orang itu pasti ada mayat-mayat di pinggir jalan'," jelas Thoric menirukan ucapan Pak Min.
Kemudian saat terjadi peristiwa G30S PKI, Pak Min tak ikut berperang karena ia sudah bekerja di Jakarta.
Namun, adanya peristiwa tersebut membawa dampak untuk pekerjaan Pak Min, semua proyeknya terpaksa berhenti dan ia akhirnya memutuskan pulang ke Solo.
Baca: Viral Kritikan Siswa SMA soal Pembelajaran Jarak Jauh: Terkendala Gadget, Kuota, hingga Sinyal
"Waktu peristiwa G30S PKI beliau ada di Jakarta, karena resesi kemelut seperti itu akhirnya beliau pulang ke Solo."
Di Solo, Pak Min bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir ke dunia usaha.
Kemudian, pada tahun 1970an, Pak Min menekuni usaha berjualan lampu semprong.
Karena usahanya itu, ia juga dijuluki Pak Min Semprong.
Namun, usaha itu hanya berjalan 10 tahun, lampu semprong mulai meredup tergantikan dengan lampu PLN.
Pak Min akhirnya memutuskan untuk berjualan mainan hasil buatan tanganya sendiri.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)