TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga Indonesia yang tinggal di berbagai negara dan menikah dengan warga negara asing (WNA) yang tergabung dalam Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) mengajukan usulan revisi atas Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Usulan ini diajukan karena sejumlah pasal di UU ini dinilai merugikan warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan pernikahan campuran dengan warga negara asing (WNA) serta anak hasil pernikahannya.
Mereka dirugikan dalam akses memperoleh kewarganegaraan ganda dari pernikahan campuran yang dijalani, hak untuk memperoleh pekerjaan hingga hak untuk kepemilikan tempat tinggal.
Ketua APAB Nia Schumacer mengatakan, revisi atas sejumlah pasal di UU tersebut sangat diperlukan demi memberikan jaminan hak asasi manusia bagi WNI, baik sebagai suami maupun istri dan keturunannya dari hasil pernikahan campuran yang mereka lakukan.
Nia menjelaskan, APAB menginginkan diberikannya hak kewarganegaraan ganda agar WNI yang melakukan pernikahan campuran dengan WNA bisa memiliki status kewarganegaraan lain tanpa perlu melepaskan status kewarganegaraan dari negara asalnya.
Usulan kewarganegaraan ganda mereka ajukan untuk suami/istri waga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria atau wanita WNA atau suami/ istri WNA yang menikah dengan WNI dengan usia perkawinan lebih dari 10 tahun dan berdomisili di Indonesia.
Baca: Ingat Gloria Hamel? Tahun 2016 Viral Tak Bisa Jadi Paskibra karena Masalah WNA, Kini Banyak Prestasi
Usulan pemberian hak kewarganegaraan ganda juga mereka ajukan untuk anak/keturunan hasil dari perkawinan campuran WNI dan WNA.
"Kami mengusulkan status kewarganegaraan ganda ini agar bisa berlaku selamanya," ujar Nia Schumacher dalam konferensi pers pernyataan sikap APAB di Plataran Jakarta, Selasa, 18 Agustus 2020.
Baca: 20 Penyelam Cari WNA Asal Amerika yang Hilang di Teluk Ambon
Nia menegaskan, pemberian status kewarganegaraan ganda bagi WNI dan WNA pernikahan campuran dan keturunannya tidak berarti akan melemahkan loyalitas mereka kepada negara asalnya termasuk loyalitas WNI terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kami mengusulkan WNI yang memperoleh kewarganegaraan negara pasangan-nya, tidak perlu melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Seseorang dapat mencintai keduanya (dua kewarganegaraan) dengan sama kuat, tapi dengan cara yang berbeda," jelasnya.
Dia menambahkan, aturan undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini memang menjadi kendala bagi WNI yang melakukan pernikahan campuran.
Dia menegaskan UU yang berlaku saat ini membatasi hal WNI yang ingin berkeluarga dengan pasangan WNA-nya. Mereka juga menjadi terbatasi dalam akses memperoleh pekerjaan dan memiliki tempat tinggal.
Anak hasil pernikahan campuran juga kehilangan hak untuk mempertahankan identitas asalnya.
"Bagi anak kami, hal tersebut seperti menantikan vonis pengadilan yang akan berdampak untuk kelangsungan hidup anak tersebut, seperti diharuskan memilih antara lebih sayang ibu atau ayah," kata Julia Mace, pendiri APAB.
Soal akses mendapat pekerjaan, kesempatan pasangan campuran dalam mencari nafkah dipersempit oleh peraturan ketenagakerjaan di Undang-Undang No 13 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 13.
Dia menyebutkan ada pembatasan persyaratan-persyaratan dan jabatan-jabatan tertentu dalam perusahaan untuk WNA dari keluarga perkawinan campuran yang diberlakukan sama dengan WNA murni lainnya.
"Hal itu menyebabkan sangat sulitnya kehidupan keluarga kami dalam mencari nafkah dan terancam tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami," sebutnya.
Dia menambahkan, keluarga perkawinan campuran kehilangan hak kepemilikan tempat tinggal untuk dapat diwariskan ke pasangan dan keturunannya karena adanya kaitan antara dua undang-undang, yaitu
Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, Pasal 20 & 21 dengan Undang-undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 35.
"Hak Milik atas tempat tinggal/tanah seharusnya berlaku juga bagi pasangan WNA yang menikah
secara sah dengan WNI karena telah diakui keberadaannya di Indonesia dengan diberikannya
Izin Tinggal Tetap pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," tegasnya.
Karena pasangan WNA kami sudah diakui sebagai keluarga besar negara Republik Indonesia
menjadi keluarga perkawinan campuran, tentunya juga mempunyai kesamaan hak kepemilikan
atas tempat tinggal/tanah sehingga kami dapat saling mewarisi kepada suami/istri dan keturunan
WNA kami. Tapi menurut Undang-Undang Pokok Agraria itu tidak diperbolehkan," bebernya.
Anak dari keluarga perkawinan campuran juga kehilangan hak untuk mempertahankan identitasnya. Akibatnya, mereka dihantui oleh keresahan dalam dirinya.
Dia menjelaskan, seorang anak yang lahir dari keluarga perkawinan campuran dihantui oleh keresahan dalam dirinya karena harus memilih kewarganegaraan ibu atau ayah. Jika mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 6, pada usia 18 tahun harus memilih salah satu
kewarganegaraan.
"Bagi anak kami, hal tersebut seperti menantikan vonis pengadilan yang akan berdampak untuk kelangsungan hidup anak tersebut; seperti diharuskan memilih antara lebih sayang
ibu atau ayah. Sungguh keputusan yang tidak mudah," tandasnya.