"Anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017 dan meningkat di tahun berikutnya."
Egi menyebut penggunaan influencer oleh pemerintah nantinya akan semakin marak dan dengan anggaran yang jauh lebih besar. Namun di balik penggunaan para influencer tersebut, ia menilai pemerintah seakan tidak yakin dengan kebijakan yang dikeluarkan.
"Bahwa Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya sehingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer."
"Selain tidak percaya diri, peran kehumasan pemerintah ke mana kalau influencer makin marak seperti ini? Jadi tidak berguna fungsi kehumasan."
"Tidak menutup kemungkinan anggarannya akan lebih besar.""
Tapi lebih dari itu, menurut Egi, transparansi dan akuntabilitas anggaran dalam penggunaan influencer sangat lemah. Sebab tak ada tolok ukur yang dipakai ketika menentukan atau memilih seorang pemengaruh dalam menyosialisasikan kebijakan.
"Kebijakan yang menggunakan influencer apa saja? Termasuk influencer diberi disclaimer bahwa ini aktivitas berbayar atau didukung pemerintah dalam publikasi postingannya."
"Lalu bagaimana pemerintah menentukan suatu isu butuh influencer? Bagaimana pemerintah menentukan individu yang layak menjadi influencer? Karena ini terkait akuntabilitas."
Sisi gelap teknologi dan media sosial bagi demokrasi
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI), Asfinawati, mengatakan penggunaan teknologi atau media sosial dalam demokrasi sesungguhnya bisa berdampak positif dalam demokrasi.
Sebab publik atau rakyat bisa menyampaikan langsung aspirasinya tanpa hambatan.
"Teknologi membuat pemerintah lebih responsif. Misal pengaduan bisa secara langsung atau bercakap-cakap secara langsung melalui akun menteri atau presiden," ujar Asfinawati dalam diskusi online.
"Menjadi lebih akuntabel dan transparan karena semua hal bisa diunggah. Misalnya rancangan APBN, peraturan daerah. Kalau dulu berbelit-belit sekarang bisa lebih cepat diakses," sambungnya.