"Publik tidak lagi bisa membedakan mana pendapat pribadi dan mana yang iklan. Berbeda dengan televisi atau radio, jelas kita bisa tahu mana yang berita dan iklan."
Lebih dari itu, Asfi menilai penggunaan influencer dan buzzer telah menciptakan stigmatisasi atau 'pembelahan' dengan sebutan tertentu. Ia mengambil contoh istilah 'cebong' dan 'kadrun'.
"Jadi sebagus apapun omongan seseorang menjadi tidak valid dan ini membiaskan."
Terkait kebijakan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law, pakar media sosial dari Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan percakapan terkait #indonesiabutuhkerja baru ramai di media sosial pada rentang 13 sampai 16 Agustus.
"Kampanye oleh influencer terjadi di Instagram pada 10-12 Agustus dan cukup ramai. Sehari setelahnya sudah diketahui netizen di Instagram dan ada serangan balik."
"Kemudian di Twitter pada tanggal 10-12 Agustus masih adem ayem, tapi pada tanggal 13-16 Agustus ada dialektika. Isinya kritikan semua bukan promosi lagi."
Ismail menilai percakapan yang begitu riuh di media sosial terkait #indonesiabutuhkerja cukup seimbang antara yang setuju dan menolak.
Dan semestinya, kata dia, pemerintah mendengarkan keriuhan tersebut dalam mengambil kebijakan.