Chris melanjutkan, jika dicermati, tidak terbersit, tersirat, ataupun tersurat sedikit pun dalam permohonan untuk memberangus kreativitas para YouTuber, selebgram dan sahabat-sahabat kreatif lainnya.
"Kami mendorong agar UU Penyiaran yang sudah jadul itu untuk bersinergi dengan UU yang lain, seperti UU Telekomunikasi yang sudah mengatur soal infrastruktur, UU ITE yang sudah mengatur soal Internet, dan UU Penyiaran sebagai UU yang mengatur konten dan perlindungan kepada insan kreatif bangsa memang tertinggal perkembangannya. Hal ini yang ingin kami dorong," ujar Chris.
Dalam sidang pada 26 Agustus, sebenarnya MK mengagendakan pemberian keterangan dari pihak pemerintah dan DPR. Namun hanya pemerintah yang hadir diwakili Kominfo.
Sehingga MK bakal menggelar sidang lanjutan pada Senin (14/9/2020) dengan agenda mendengar keterangan DPR dan pihak terkait.
"Sidang akan diundur hari Senin, tanggal 14 September 2020, jam 11.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan DPR dan pihak terkait," ucap Ketua MK, Anwar Usman.
Tanggapan DPR
Sementara itu anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan meminta semua pihak menghargai keputusan RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan.
"Secara konstitusional kita hargai hak RCTI untuk menggugat. Tapi MK yang akan menentukan apakah memang bisa mengubah isi pasal atau tidak," kata Farhan ketika dihubungi, Jumat (28/8/2020).
Menurutnya, opini publik yang negatif terhadap gugatan RCTI yang notabene merupakan badan hukum RI justru menguntungkan bisnis perusahaan over the top (OTT) yang merupakan badan hukum luar negeri.
Oleh karenanya, politikus NasDem tersebut menilai sebaiknya RCTI turut mendukung revisi UU Penyiaran saja.
"Melihat dari permintaan RCTI tersebut, menurut saya lebih baik RCTI ikut mendukung revisi UU Penyiaran yang akan membawa kita ke era digital melalui ASO. Sehingga Lembaga Penyiaran Televisi bisa memasuki era pengembangan konten digital yang luas," kata dia.
Di sisi lain, Farhan mengatakan bangsa Indonesia juga mau tidak mau harus mulai memikirkan filter bagi konten OTT yang banyak melanggar UU Anti Pornografi dan juga merangsang perilaku kekerasan.
Namun, kata dia, berdasarkan pengalaman gugatan di MK selama ini biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK.
"Mempelajari berbagai gugatan di MK, biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK. Tetapi harus masuk DPR RI atau Perppu," ujarnya.(tribun network/dng/dit/dod)