TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja masih menjadi perdebatan di tingkat nasional.
Polemik soal omnibus law ini bahkan berhasil membuat para pekerja turun ke jalan.
Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah membatalkan RUU omnibus law yang dianggap merugikan para pekerja.
Terkait dengan hal itu, Ketua DPC Solo Serikat Pekerja Nasional, Muhammad Sholihuddin memberikan tanggapannya.
Dalam diskusi Panggung Demokrasi yang disiarkan langsung di kanal YouTube Tribunnews.com, Sholihuddin menjelaskan, mengapa omnibus law ditolak keras oleh para pekerja.
Menurut Sholihuddin, satu di antara poin yang menjadi persoalan dari omnibus law adalah nasib kejelasan pekerja.
Baca: Kawal Omnibus Law Cipta Kerja, DPR RI Bentuk Tim Perumus Bersama Serikat Pekerja
Baca: Pimpinan DPR dan Baleg Temui Massa Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Ia kemudian menyinggung soal nasib Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak.
Sholihuddin menjelaskan, dalam omnibus law tersebut tidak ada batasan untuk pegawai kontrak.
"Jadi di sini untuk PKWT ini tidak ada batasannya, misalnya, saya masuk kerja di suatu perusahaan di situ kita dijadikan PKWT ini bisa diperpanjang sepanjang-panjangnya, bisa selama-lamanya."
"Sehingga kita tidak ada kejelasan apakah kita bisa jadi karyawan tetap atau tidak."
"Sedangkan kalau berdasarkan ketentuan Undang-Undnag PKWT hak-hak normatif tidak mendapatkan, sehingga otomatis supplementalsecurity income itu tidak ada kejelasan," papar Sholihuddin.
Ia mengatakan, sebenarnya pihaknya telah menyampaikan terkait dengan omnibus law ini ke pemerintah dan DPR berulang kali.
"Jalan kami tinggal kita mendorong ke fraksi-fraksi dan stakeholder yang ada untuk menolak omnibus law," paparnya.
Namun, selain menolak omnibus law, Sholihuddin menjelaskan, pihaknya juga mempunyai resolusi untuk penguatan UU yang ada.
"Dari kami resolusi ada lima Undang-Undang, sehingga dari lima Undang-Undang itu bisa menguntungkan pekerja dan pengusaha."
"Intinya kami dari serikat pekerja nasional tarik aja omnibus law dari prolegnas," tegasnya.
Apa Itu Omnibus Law?
Dikutip laman resmi DPR RI dari Kontan.co,id, istilah omnibus berasal dari bahasa latin yang berasal dari bahasa latin yang berarti untuk semuanya.
Sementara makna omnibus law artinya satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang untuk menyasar isu besar di sebuah negara.
Omnibus law yang dikenal dengan UU sapu jagat ini dimaksudkan untuk merampingkan dan menyederhanakan berbagai regulasi agar lebih tepat sasaran.
Omnibus law itu akan mengubah puluhan UU yang dinilai menghambat investasi, termasuk di antaranya UU Ketenagakerjaan. Setidaknya, ada 74 UU yang terdampak UU ini.
Omnibus law sendiri hal lazim di negara-negara common law dan kurang dikenal di negara bersistem civil law seperti Indonesia.
Baca: Panja RUU Cipta Kerja Kembali Lanjutkan Pembahasan DIM Omnibus Law
Baca: Akademisi: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Percepat Pemulihan Ekonomi
Di Amerika Serikat, omnibus law telah digunakan sebagai UU lintas sektor.
Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Omnibus law juga dikenal dengan omnibus bill. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengidentifikasi sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari omnibus law.
Kesepahaman antara serikat pekerja dan DPR soal RUU Cipta Kerja
DPR dan konfederasi serikat pekerja atau buruh dalam tim perumusan RUU Cipta Kerja telah menghasilkan beberapa kesepahaman dalam menyikapi RUU tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, berkenaan dengan materi muatan Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang sudah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi, harus didasarkan pada putusan MK.
Putusan tersebut di antaranya, tentang perjanjian kerja waktu tertentu, upah, pesangon, hubungan kerja, PHK, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, jaminan sosial, dan materia muatan lain yang terkait dengan putusan MK.
Baca: Fraksi PKS Desak Pemerintah Cabut Klaster Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja
"Kemudian, berkenaan dengan sanksi pidana ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dikembalikan sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, dengan proses yang dipertimbangkan secara seksama," kata Willy.
Selanjutnya, kata Willy, berkenaan dengan hubungan ketenagakerjaan yang lebih adaptif terhadap perkembangan industri, maka pengaturannya dapat dimasukan di dalam RUU Cipta Kerja dan terbuka terhadap masukan publik.
KSPI minta Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan
Sementara, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja bila RUU Cipta Kerja ingin segera disahkan.
"Sebaiknya klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja bila memungkinkan. Apabila mungkin sepuluh klaster lain ingin cepat-cepat diselesaikan, ingin cepat-cepat disahkan," ujar Said dikutip dari laman yang sama.
Dia pun meminta agar DPR bisa menyampaikan pandangan ini kepada pemerintah dan pemerintah bisa memahami permintaan serikat pekerja/buruh.
Baca: Bahas Omnibus Law Cipta Kerja di Masa Reses, Legislator PKS Ingatkan Tata Tertib DPR
Dia melanjutkan, serikat buruh pun sepakat bila investasi segera masuk ke Indonesia.
Izin berinvestasi dipermudah dan hambatan-hambatan investasi dihilangkan khususnya dengan adanya pandemi Covid-19.
Namun, dia berharap bila RUU Cipta kerja ini disahkan, pekerja atau buruh di seluruh tanah air tetap terlindungi khususnya dalam klaster ketenagakerjaan.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kontan.co.id/Virdita Rizki Ratriani)