TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III (Q3) 2020 akan kembali negatif, sehingga negeri ini memasuki era resesi ekonomi.
Pada Q3 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,5 persen, dipicu rendahnya daya beli masyarakat dan sepinya ivestasi sebagai akibat pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KP-PEN), diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Ketua Umum DPP Partai Golkar tersebut yakin pada Q4 alias akhir 2020 pertumuhan ekonomi Indonesia akan kembali plus meski tidak begitu tinggi.
Baca: Airlangga Klaim 95 Persen Calon Kepala Daerah di 271 Dapil Adalah Kader Golkar
Baca: Menko Airlangga: Suntikan Vaksin Belum Tentu Hilangkan Ancaman Covid-19 Selamanya
Dalam wawancara eksklusif dengan Tribun Network, Selasa (1/9), Airlangga menjelaskan secara rinci berbagai upaya untuk menangggulangi pandemi Covid-19 dan berbagai cara untuk menggerakkan roda ekonomi.
“Pada Q3 dan Q4, indikator-indikator ekonomi mulai membaik. Semisal purchasing manager index atau PMI manufaktur, naik mendekati 50,8 dari 46,9,” kata Airlangga.
Keputusan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), menurut Airlangga merupakan langkah tepat dibandingkan melakukan lockdown.
"Saat PSBB diterapkan masih ada 12 sektor yang tetap beraktivitas, termasuk sektor industri. Sedangkan lockdown, semuanya berhenti. Kita on the track. Kalau lockdown yang dipilih, pertumbuhan ekonomi kita bisa minus dua digit,” tambahnya.
Berikut petikan wawancara dengan Airlangga Hartarto.
Menurut Anda, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia saat ini?
Trennya ke arah positif. Tinggal positifnya berapa persen. Pada Q2 kita minus 5,3 persen sehingga membutuhkan pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-3 (Q3) sebesar Rp 700 triliun. Angka Rp 700 triliun dari mana, satu dari segi anggaran pemerintah di Juli penyerapannya Rp 125 triliun.
Pada Agustus bisa tidak ini meningkat, berikutnya pada September berapa yang bisa kita dorong. Bapak Presiden telah mengumpulkan 34 gubernur dan disampaikan ada 13 daerah yang pertumbuhannya lebih rendah dari pertumbuhan nasional.
Sebut saja Provinsi DKI, Bali, Jawa Barat, pertumbuhan ekonominya di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal daerah-daerah lah yang mengontribusikan 65 persen dari PDB kita. Pertumbuhan ekonomi itu kanagregat dari daerah-daerah.
Sektor yang bisa memicu pertumbuhan antara lain sektor industri, perdagangan, dan sektor lainnya termasuk pertanian dan pertambangan. Seperti daerah Sumatera, pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata ekonomi nasional, karena basisnya perkebunan.
Kelapa sawit, demand-nya masih tinggi, harganya masih bagus. Kalau kita lihat di sektor pertambangan, Sulawesi Tengah pertumbuhannya0,25 karena dia masih bisa dijaga oleh industri nikel, komoditas yang tidak jatuh.
Perlu diketahui di masa pandemi Covid-19 terjadikrisis kesehatan. Krisis kesehatan terkait sumber daya manusia. Akibatnya yang terdampak adalah human capital kita.
Untuk menyelesaikan krisis kesehatan, yang perlu didorong yaitu pelayanan kesehatan. Selain itu juga ketersediaan vaksin dan perencanaan untuk imunisasi (vaksinasi) massal. Program imunisasi kami targetkan 1 juta per hari pada 2021.
Berapa jumlah warga yang perlu mendapat vaksin?
Secara teknis 2/3 dari jumlah penduduk, sekira 180 juta warga. Tetapi karena harus dilakukan dua kali vaksinasi, jumlahnya jadi 360 juta.
Targetnya kapan 180 juta warga itu divaksinasi?
Tentu terkait dengan kesediaan produksi. Ketersediaan vaksin hingga akhir 2020 diperkirakan 30 juta. Vaksin ini bahannya kita dapatkan dari luar, kemudian dimanufaktur di PT Biofarma (Bandung). Bahannya berasal dari Sinovac (sebuah perusahaan di China).
Apa bedanya resesi ekonomi dan krisis ekonomi?
Pada saat ini ada 215 negara yang mengalami resesi ekonomi (pertumbuhan ekonominya minus).
Risiko krisis kesehatan bisa menjadi krisis ekonomi tetapi dimulai dari resesi dulu. Nah resesi itu yang sekarang dihadapi 215 negara.
Khusus Indonesia kita lihat dari pertumbuhan ekonomi selama satu tahun (year on year). Sampai Desember 2020, target pertumbuhan kita positif di 0,2 persen atau 0,25 persen atau bahkan 0.
Pada Q1 2020 Indonesia masih positif padahal negara lain sudah negatif. Pada saat kita minus 5,3 persen, ternyata negara lain lebih dalam lagi. India minus 20 persen, sedang Singapura minus 12.
Apa yang membuat Indonesia hanya minus satu digit?
Nah itu bedanya lockdown dan PSBB. Saat PSBB kita membuka 12 sektor, termasuk sektor industri. Sedangkan lockdown semua berhenti.
Kita on the track pada saat memberlakukan PSBB yang berbasis regional, tidak pukul rata. Kawasan industri di Bekasi-Karawang-Purwakarta kan relatif aman, karena dari awal sudah menjalankan protokol kesehatan.
Selain tidak melakukan lockdown, faktor apalagi yang membuat Indonesia kondisi ekonomi tidak separah negara lain?
Domestik market (pasar dalam negeri) yang resilient (tangguh). Contoh, Singapura itu 90 persen perekonomian tergantung pada ekonomi global. Begitu ekonomi global sedang berhenti, Singapura langsung kena. Kita masih punya daya tahan domestik.
Kita bisa sedikit bertahan karena faktor domestic, plus adanya sektor yang bisa menjadi pengungkit. Contohnya sektor pertanian. Karena dalam situasi apapun kebutuhan untuk pangan tetap ada, sehingga sektor pangan tetap aman.
Kemudian sektor digital. Adanya pandemi, digitalisasi malah terakselerasi, sehingga sektor infokom juga positif. Sektor kesehatan karena terpacu pandemi juga digenjot. Kita mempunyai sektor-sektor seperti ini, sedang negara lain tidak punya, sehingga mereka turun lebih dalam.(dennis)