"Misalnya tidak boleh menampikan kekerasan, tidak boleh pornografi, mengangung pelecehan, sehingga ketika larangan itu dilanggar oleh pemilik akun penyedia konten akan memblokir materi konten."
"Tanggung jawab pemilik akun terhadap materi konten kepada tidak hanya diawasi oleh penyedia konten, tapi juga kepada publik," ujarnya.
Ketika ada materi konten yang merugikan, pemilik akun bisa dilaporkan menggunakan UU ITE.
Baca: KPI: Uji Materi UU Penyiaran Lindungi Pelaku Industri Kreatif Nasional
Sholeh pun menaruh curiga, gugatan RCTI dan iNews TV hanya didasarkan kecemburuan.
Sebab saat ini animo masyarakat terhadap media sosial seperti YouTube, Facebook dan Instagram sangat tinggi.
"Penggunaan media sosial lebih fleksibel bahkan bisa diakses di rumah, di jalan, bahkan di kantor. Berbeda dengan televisi yang hanya bisa dilihat saat berada di rumah atau di kantor," ungkapnya.
Masih menurut Sholeh, jika media sosial internet dimasukkan ke dalam lembaga penyiaran swasta, secara pengertian pun sudah tidak bisa sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) UU Penyiaran.
"Sebab, banyak akun media sosial yang tidak bersifat komersial, tidak mau dapat sponsor, banyak akun yang tujuannya hanya edukatif dan sosial," ungkapnya.
"Hal ini tentu berbeda dengan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UU Penyiaran yang komersial, jika tidak, maka tidak bisa menggaji karyawan dan sebagainya," lanjut Sholeh.
Baca: 2 Stasiun TV Ajukan Gugatan Terkait UU Penyiaran, PKS Dorong Revisi UU Kembali Masuk Prolegnas
Menurutnya gugatan yang dilayangkan RCTI dan iNews TV harus dilawan.
"Sebab ini berbahaya bagi kemerdekaan berekpresi warga negara yang dijamin oleh UUD 1945," ungkapnya.
"Kita meminta supaya MK menolak gugatan RCTI dan iNews TV," pungkas Sholeh.
Gugatan RCTI dan iNews TV
Sementara itu Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang digugat RCTI dan iNews TV menyebut :