Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan penyampaian draft Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme dibuat terburu-buru.
Arsul mengungkapkan hal itu terlihat dalam aspek teknis surat tersebut di antaranya masih dicantumkannya nama Pelaksana Tugas (PLT) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Tjahjo Kumolo.
Padahal menurut Arsul Menkumham yang saat ini menjabat yakni Yasonna Laoly telah menjabat sejak Oktober 2019 sedangkan draft tersebut dikirimkan ke DPR RI pada Mei 2020.
Baca: Komandan Korpaskhas TNI AU Nilai Penting Hadirnya Perpres Pelibatan TNI Atasi Aksi Terorisme
Hal tersebut disampaikan Arsul dalam diskusi virtual bertajuk Menimbang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme di Negara Demokrasi yang digelar Imparsial pada Kamis (24/9/2020).
"Apalagi di dalam Perpres itu saya lihat terburu-buru, ini mohon maaf. Perpres yang dilampirkan dalam surat kepada pimpinan DPR itu masih mencantumkan Plt Menkumhamnya Pak Tjahjo, padahal itu baru bulan Mei kemarin dikirimkan. Padahal dari bulan Oktober kan sudah Pak Yasonna Laoly Menkumhamnya. Itu contoh bahwa sepertinya ada keterburu-buruan," kata Arsul.
Baca: Komandan Korps Marinir TNI AL Nilai Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Sangat Penting
Selain itu sebagai anggota legislatif yang pernah menjadi Pansus dan Timus dari RUU Perubahan yang kemudian menjadi Undang-Undang 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme, ia melihat adanya penyimpangan isi draft tersebut dari politik hukum yang menyertai pembahasan Undang-Undang 5 tahun 2018.
Dalam hal ini, ia menilai peran TNI menjadi sulit dibedakan dengan BNPT khususnya dalam hal pencegahan atau penangkalan.
"Mestinya menurut saya, saya tidak ingin mengatakan TNI tidak boleh melakukan kerja-kerja penangkalan. Tetap boleh, tapi itu tetap di bawah BNPT, di bawah koordinasi dengan BNPT. Bukan berkoordinasi. Saya kira ini bisa dibaca mulai dari pasal 43 E, 43 F, di Undang-Undang 5 tahun 2018," kata Arsul.
Baca: Arsul Sani Pastikan Akan Ada Jalan Tengah Soal Polemik R-Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Arsul juga menyoroti adanya pengaturan kewenangan yang tumpang tindih dalam draft R-Perpres tersebut terkait penindakan.
Dalam hal ini Arsul menyoroti aspek mekanisme koordinasi antara TNI dan Kepolisian yang memiliki seluruh kewenangan penindakan dalam Undang-Undang 5 tahun 2018.
"Inilah yang saya kira menjadi concern, dan karena itulah di DPR juga sampai dengan kemarin belum kita bahas jadinya. Karena antar fraksi sendiri dan secara informal punya sudut pandang berbeda," kata Arsul.
Baca: Arsul Sani Sebut R-Perpres yang Ada di DPR Sama dengan yang Beredar di Masyarakat
Arsul juga menegaskan sikapnya terkait hal ini adalah mendukung adanya Perpres tersebut karena meruoakan amanah Undang-Undang khususnya Undang-Undang 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme.
Tapi menurutnya, Perpres itu perlu dibahas secara mendalam, dierbaiki rumusan-rumusannya secara jelas, agar tidak keluar dari politik hukum dasarnya yang ada dalam Undang-Undang 5 tahun 2018.
"Sekali lagi saya dan kawan-kawan di Senayan setuju tentang pelibatan, hanya soal format, skema, itu yang perlu ditata dengan lebih baik lagi. Tadinya saya, terus terang Mbak Dani (Jaleswari Pramodhawardani), pemerintah setelah mendengarkan masukan dari berbagai masukan dari berbagai elemen masyarakat khususnya masyarakat sipil, menarik kembali draft perpres itu untuk disempurnakan baru kemudian diajukan ulang ke DPR. Ini mohon disampaikan ke Pemerintah," kata Arsul.