TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat dinilai harus meningkatkan rasa optimisme menghadapi perekonomian Indonesia yang di ambang resesi.
Pakar ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Taufiq Arifin, menyebut Indonesia pernah mengalami kondisi yang lebih sulit dari resesi.
"Kalau kita melihat yang lebih parah dari resesi, kita pernah mengalaminya pada 1997 dan 1998," ujar Taufiq dalam program Overview Tribunnews.com, Kamis (1/10/2020).
Indonesia, kata Taufiq, juga pernah menghadapi krisis finansial global di tahun 2008.
Saat itu kondisi ekonomi Indonesia berhasil bertahan lebih baik dari negara lain.
"Untuk 2008, kita hanya mengalami sedikit (krisis), tapi di negara lain mengalami great depression (depresi hebat), karena sistem keuangan tergoncang secara dahsyat," ungkap Taufiq.
Baca: Wapres Maruf Sebut Pemerintah Serius soal Bangun Pesantren sebagai Pusat Ekonomi Syariah
Taufiq menilai ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini tergolong stabil dibanding banyak negara lain.
"Negara kita termasuk negara stabil, bahkan kalau lihat di kuartal kedua banyak negara yang sudah resesi, kita bertahan hingga kuartal ketiga," ungkap Taufiq.
"Ini tanda kita perlu optimis, kita bangun narasi supaya bisa keluar dari kondisi sulit," imbuhnya.
Masuk Resesi
Taufiq menyebut secara definisi dalam ilmu ekonomi, Indonesia dipastikan memasuki resesi.
"Kondisi seperti ini secara definisi kita masuk arena resesi, secara teori mengatakan jika sebuah negara dalam dua kuartal berturut pertumbuhan ekonominya minus, ada penurunan produk domestik bruto (PDB) maka negara tersebut masuk arena resesi," jelas Taufiq.
Baca: Sri Mulyani: Orang Kota Berpengalaman Antisipasi PSBB, Dampak ke Ekonomi Diyakini Tidak Akan Dalam
Diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II negatif 5,3 persen.
Sedangkan di akhir kwarttal III pertumbuhan Indonesia diproyeksikan minus 2,93 persen.
Taufiq menyebut ada sejumlah tanda terjadinya resesi.
"Kita perlu bersiap-siap, ada beberapa kondisi yang kita lihat, misalnya naiknya pengangguran, menurunnya aktivitas ekonomi, disebabkan karena tingkat konsumsi turun," ujar Taufiq.
Lebih lanjut, Taufiq meyakini Indonesia dapat terlepas dari krisis.
Dengan syarat Indonesia harus bisa menyelesaikan situasi pandemi Covid-19 terlebih dahulu.
"Kita menyadari saat ini masih di masa pandemi, jadi kalau tidak bisa menyelesaikan pandemi maka konsekuensinya akan panjang," ungkapnya.
"Kalau kita memang mau mencoba beraktivitas maka syarat utama kita harus jaga protokol kesehatan supaya menghilangkan masalah utama tersebut," imbuhnya.
Baca: IHSG Hari Ini Berpotensi Kembali Menguat Meski dalam Bayangan Resesi
Taufiq menyebut jika kegiatan dengan mematuhi protokol kesehatan dapat dilakukan dengan baik, akan menuju adanya pergerakan ekonomi.
Pergerakan ekonomi yang membaik inilah yang menjadikan Indonesia terlepas dari jurang resesi.
"Kalau sudah bisa dipenuhi maka dengan badan yang sehat mestinya akan bisa melihat peluang-peluang, maka di sana kita bisa meng-create value baru di tengah pandemi, terus gerakkan roda ekonomi dengan kemampuan yang dipunyai," jelas Taufiq.
Baca: Soetrisno Bachir Sebut Resesi Ekonomi Bukan Masalah Besar, Ini Alasannya
Sementara itu resesi dipastikan akan terjadi pada kuartal III tahun 2020 ini.
Dalam artian, kinerja perekonomian RI mengalami perlambatan aktivitas perekonomian secara berkepanjangan.
Dilansir Kompas.com, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, kuartal III tahun ini pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi bakal mengalami kontraksi di kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1 persen.
Febrio menyebut pemerintah telah mengantisipasi kinerja kuartal III yang bakal kembali mengalami kontraksi setelah pada kuartal II lalu, pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen.
"Nah ini memang sudah diantisipasi dengan data-data tersebut dan terlihat memang pemulihan perekonomian dari kuartal II ke kuartal III memang terjadi, tapi tidak secepat yang diharapkan," jelas Febrio di Jakarta, Kamis (1/10/2020).
"Kalau tadinya di kuartal II 5,3 persen, di kuartal III kita masih terus mengharapkan dengan data terakhir kita pantau tidak seburuk 5,3 persen. Tapi range-nya di 2,9 persen hingga -1,1 persen dua-duanya minus," lanjutnya.
Baca: Jurang Resesi di Depan Mata, Ekonom Core: Normal di Tengah Wabah, Masyarakat Tidak Perlu Panik
Febrio mengungkapkan membaiknya kinerja perekonomian yang masih jauh dari harapan tersebut menunjukan sisi permintaan domestik belum benar-benar pulih.
Maka dari itu, pemerintah dalam beberapa waktu terakhir melakukan relokasi anggaran di beberapa pos dalam anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meningkatkan perlindungan sosial.
"Masih harus kita pastikan seperti perlindungan sosial masih lanjut terus sampai akhir tahun dan lumayan on schedule setiap bulan ada disbursement sampai Rp 200 triliun lebih," jelas dia,
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com/Mutia Fauzia)