Di sisi lain, Rachmi menyinggung soal penghapusan pasal 20 UU Paten di dalam Pasal 110 Omnibus Law Cipta Kerja.
Hal itu menurutnya hanya akan kembali memperkuat ruang monopoli paten obat oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar dan berdampak jangka panjang bagi pemenuhan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.
“Penghapusan pasal 20 UU Paten di dalam RUU Cipta Kerja adalah keliru dan bukanlah langkah tepat untuk menjawab persoalan hambatan investasi. Justru penghapusan pasal ini hanya akan merugikan kepentingan nasional Indonesia dan menghambat agenda pembangunan industri nasional akibat tidak terjadinya transfer teknologi dan monopoli terhadap pengetahuan dan teknologi," kata Rachmi.
Rachmi mengatakan penghapusan Pasal 20 UU Paten di dalam Omnibus Law akan mempersulit akses obat di Indonesia karena hilangnya kewajiban perusahaan paten untuk melaksanakan patennya di Indonesia.
Bahkan, pada akhirnya menghilangkan kekuatan pemerintah untuk dapat melaksanakan penggunaan paten oleh Pemerintah untuk memproduksi obat versi generik yang dibutuhkan oleh publik khususnya disituasi darurat, seperti penggunaan lisensi wajib.
Pasal 20 UU Paten, kata Rachmi, adalah mandat dari konstitusi. Jika kemudian pasal ini hendak dihapus karena alasan yang ‘inkonstitusional’, maka kiranya UU yang akan menghapus pasal 20 UU Paten itulah yang inkonstitusional.
“Justru, di tengah pandemic covid-19, masyarakat Indonesia membutuhkan pasal 20 UU Paten ini untuk dapat membuka akses seluas-luasnya obat dan alat medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Penghapusan pasal 20 UU Paten dalam Omnibus Law hanya akan memperburuk krisis kesehatan di masyarakat," kata Rachmi.