Selain itu, Didi melihat ada kejanggalan lainnya, yaitu undangan rapat diberitahu hanya beberapa jam sebelum paripurna. Menurutnya, undangan rapat tersebut telah memecahkan rekor undangan secepat kilat.
"Ada apa gerangan ini? Sungguh tidak etis untuk sebuah RUU sepenting dan krusial ini. Padahal sudah dijadwal sebelumnya akan dilakukan pada tgl 8 Oktober 2020. Tiba-tiba menjadi 5 Oktober, tanpa informasi yang cukup dan memadai. Sehingga rapat itu menjadi rapat yang dadakan, tergesa-gesa dan dipaksakan," pungkas Didi.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid menilai Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tak hanya memiliki berbagai substansi yang bermasalah yang masih terus mendapat kritikan dan penolakan publik.
HNW, begitu ia disapa, melihat ada ketidaklaziman dalam aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah serta mayoritas fraksi di Badan Legislasi DPR RI dan di Rapat Paripurna DPR RI.
Baca: Artis Sikapi UU Cipta Kerja, Melanie Subono Sindir Pengkhianat, Ernest Prakasa: Tak Sepenuhnya Buruk
Dia menyoroti saat pengambilan keputusan tingkat I di Baleg dan tingkat II di Rapat Paripurna draft utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan ke semua fraksi.
Tetapi anehnya semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Meski ada dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat yang menolak untuk meneruskan rapat paripurna, tetap saja RUU itu diteruskan.
Namun, HNW menegaskan kembali bahwa tidak ada draft akhir Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dibagikan sebelumnya kepada setiap fraksi maupun anggota DPR.
"Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi ‘dipaksa’ untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draft secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu. Begitu terburu- burunya, sehingga jadwal pengesahan RUU dalam rapat paripurna DPR pun mendadak dimajukan, dari tanggal 8 menjadi tanggal 5 september. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik ini semuanya?" kata HNW
Karena tidak terpenuhinya asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal itu, HNW menilai wajar sikap Fraksi PKS dan Partai Demokrat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke Rapat Paripurna dan menolak menyetujui RUU itu menjadi UU Cipta Kerja.
Di sisi lain, konstitusi menyatakan Indonesia merupakan negara hukum dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR RI melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR.
Karena itu, HNW menilai seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU, termasuk menerima draft utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir.
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
Sehingga, lanjutnya, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna) maupun pada tingkat akhirnya dalam rapat Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.