“Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan thd Omnibus RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” jelasnya.
Bahkan, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Ketentuan tersebut menyebutkan pada pengambilan keputusan tingkat I terdapat ada acara pembacaan naskah akhir rancangan undang-undang dan penandatanganan naskah rancangan undang-undang.
Sementara dari segi substansi, Wakil Ketua MPR RI itu menuturkan banyak substansi dalam RUU itu yang bermasalah, terutama terkait isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama RUU ini.
"Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh Pemerintah,” kata dia.
HNW menilai RUU ini sangat condong kepada investasi asing dan banyak merugikan kepentingan kaum pekerja dari warga negara Indonesia, terutama para pekerja atau buruh.
“RUU ini tidak melaksanakan perintah pembukaan UUD NRI 1945, agar negara memprioritaskan melindungi tumpah darah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja ini dinilai HNW tidak memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari prinsip negara hukum yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Karena awalnya RUU ini dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan peraturan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Tetapi disayangkan sekali, RUU tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, karena RUU ini justru mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga membuat peraturan tidak menjadi sederhana, dan penuh spekulasi politik, kata putusnya tergantung kepada pemeintah pemilik kekuasaan politik. Suatu hal yang tak sesuai dengan prinsip Negara Hukum di Negara demokratis seperti Indonesia,” jelasnya.
Dia menyayangkan meski banyak penolakan dari berbagai elemen namun RUU tersebut tetap disahkan menjadi UU. Apalagi hingga saat rapat paripurna selesai, bahkan hingga saat ini, belum ada naskah UU Cipta Kerja resmi yang disampaikan ke fraksi-fraksi dan ke publik.
Hal ini, menurutnya mengkhawatirkan dan akan menambah persoalan karena ada potensi bahwa draft akhir RUU tersebut berbeda dengan yang disepakati di Panja.
Karenanya, dia mendukung bila Presiden Jokowi mempertimbangkan serius masalah ini di tengah kondisi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19.
Menurutnya sangat bijak bila Presiden Jokowi mempergunakan kewenangan konstitusionalnya untuk mengakhiri polemik dan menyelamatkan bangsa dan negara dari kegaduhan, dengan segera menerbitkan Perppu mencabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja, agar semuanya dikembalikan ke UU existing saja.
“Apabila langkah itu tidak diambil Presiden Jokowi, HNW mendukung bila warga Indonesia baik dari Sarikat Pekerja/Organisasi Buruh, organisasi Profesi, LSM, Ormas maupun individu yang dirugikan oleh diundangkannya UU Cipta Kerja itu, untuk mempergunakan hak konstitusionalnya dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dan hendaknya MK betul-betul melaksanakan kewajibannya dengan adil dan benar, demi terselamatkannya NKRI sebagai negara Pancasila dan negara Hukum,” tandasnya.
Tidak Ada Perppu
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan, tidak ada opsi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Donny mempersilakan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja untuk mengajukan uji materil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tidak ada pilihan Perppu. Pemerintah menghargai masukan dari serikat buruh. Menghargai bahwa demo-demo yang dilangsungkan beberapa hari ini berjalan dengan damai, dan berdasarkan protokol kesehatan," kata Donny.
"Jadi silakan menggunakan jalur konstitusional dengan judicial review di MK dan pemerintah bersiap menghadapi itu," lanjut dia.
Donny menambahkan, pemerintah telah menyerap aspirasi buruh dalam pembahasan UU Cipta Kerja dan menghormati berbagai pendapat yang disampaikan buruh.
Ia menuturkan UU Cipta Kerja sudah disahkan dan telah melalui proses konstitusional, sehingga masyarakat juga bisa menggugatnya secara konstitusional.
"Belum ada opsi untuk ke situ. Belum ada pertimbangan untuk opsi menerbitkan perppu. Jadi silakan seperti yang sudah disampaikan Andi Gani, Ketua Serikat Buruh, bahwa buruh akan mengambil jalan konstitusional," lanjut dia.
Donny menambahkan, pemerintah telah menyerap aspirasi buruh dalam pembahasan UU Cipta Kerja dan menghormati berbagai pendapat yang disampaikan buruh.
Ia menuturkan UU Cipta Kerja sudah disahkan dan telah melalui proses konstitusional, sehingga masyarakat juga bisa menggugatnya secara konstitusional.
"Belum ada opsi untuk ke situ. Belum ada pertimbangan untuk opsi menerbitkan perppu. Jadi silakan seperti yang sudah disampaikan Andi Gani, Ketua Serikat Buruh, bahwa buruh akan mengambil jalan konstitusional," ujar Donny. (Tribun Network/mam/sen/kps/wly)