TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi akhirnya mengungkapkan peran tiga petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia ( KAMI) yang sebelumnya ditangkap terkait aksi menolak UU Cipta Kerja dan berujung ricuh.
Ketiganya adalah Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Jumhur Hidayat
Bareskrim Polri menyebutkan penangkapan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat diduga terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitternya.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyampaikan Jumhur Hidayat diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Baca juga: Polisi Ungkap Jumhur Hidayat Ditangkap Karena Tulis UU Cipta Kerja Titipan Tiongkok di Twitter
Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif. Investor dari RRT dan pengusaha rakus. Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.
Baca juga: Istri Jumhur Cerita Detik-detik Penangkapan Suaminya, 30 Polisi Berpakaian Preman Masuk ke Rumah
Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.
Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kitabtangani. Pola dari hasutan," jelasnya.
Baca juga: Mengapa Tiga Tokoh KAMI Ditangkap? Berikut Profil Syahganda, Jumhur Hidayat dan Anton Permana
Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.
Selain itu, polisi juga menyita spanduk, kaos hitam, kemeja, rompi dan topi.
Atas perbuatannya itu, Jumhur Hidayat dijerat dengan pasal dalam Pasal 28 ayat 2 kita juncto Pasal 45A ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU No 1 Tahun 1946. Ancamannya hukumannya selama 10 tahun.