"Emosi masyarakat yang masih belajar untuk melakukan satu protes dan perlawanan," kata Adi.
Menurut Adi, munculnya anarkisme dalam aksi massa merupakan bagian dari strategi pihak tertentu untuk mendelegitimasi pemerintah.
Hal ini juga dimaksudkan untuk menaikkan eskalasi perlawanan.
Baca juga: Klaim UU Cipta Kerja jadi Solusi Hadapi Kompetisi Global, Moeldoko: Presiden Malu Lihat Kondisi Ini
Jika eskalasi isu ini meningkat, secara nasional bahkan internasional akan memberikan perhatian.
"Jadi diciptakan satu gimmick ada bentrokan, ada bom molotov, ada goyang-goyang pagar dan vandalisme sehingga aksi protes ini menjadi viral."
"Eskalasi isunya kemudian naik, menjadi perhatian begitu banyak orang," kata dia.
Namun demikian, lanjut Adi, hal ini akan berujung pada hilangnya fokus masyarakat pada substansi gerakan massa.
Sebab dengan adanya kerusuhan, masyarakat cenderung mencari tahu siapa yang paling berkepentingan dalam peristiwa tersebut.
"Ini yang kemudian menurut saya menjadi miris. Kasihan mahasiswa yang memang benar-benar demo."
"Kasihan saya kepada buruh yang memang tujuannya genuine menolak sejumlah pasal yang menurut mereka merugikan," kata Adi.
Baca juga: Bantah Pembahasan UU Cipta Kerja Tertutup, Luhut: Tidak Ada yang Tersembunyi, Semua Diajak Ngomong
Untuk diketahui, sejak omnibus law Undang-undang Cipta Kerja disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, muncul sejumlah penolakan.
Pengesahan UU tersebut menimbulkan kontroversi karena pasal-pasal di dalamnya dinilai merugikan masyarakat, khususnya para pekerja atau buruh.
Selain itu, proses penyusunan dan pembahasan naskahnya pun dianggap tertutup dari publik.
Aksi demonstrasi pun terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air.
Di Jakarta, aksi massa berakhir ricuh dengan adanya perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum.
Perusakan fasilitas umum pun menimbulkan kerugian hingga mencapai puluhan miliar.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)