TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi, aktivis, pakar hingga masyarakat adat tetap menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, meski telah disahkan oleh DPR RI.
Hal ini disampaikan dalam webinar Sekolah Agraria DPP GMNI dengan tema 'Dampak Omnibus Law Pada Regulasi Agraria di Indonesia', Minggu (18/10).
Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi mengatakan UU Omnibus Cipta Kerja yang baru disahkan dinilai bermasalah dan tak berpihak pada rakyat.
Ia juga membeberkan beberapa poin penting yang menjadi polemik di masyarakat terkait UU Cipta Kerja ini, khususnya pada sektor agraria.
“Secara filosofi, prosedur, dan substansi Omnibus Law patut saja ditolak. Pertama bahwa UU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan prosedur pembuatan Undang-Undang di Indonesia yang seharusnya bersifat tematik dan melibatkan publik. Lalu banyak pasal-pasal bermasalah yang dianggap memberi kemudahan izin bagi perusahaan dengan mengesampingkan nilai sosial-budaya dan lingkungan," ujar Imanuel, dalam keterangannya, Senin (19/10/2020).
Imanuel mengatakan UU Cipta Kerja ini tak sesuai dengan semangat Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Karena filosofi UU Cipta Kerja ini adalah investasi asing. Tidak lagi kemandirian ekonomi, reforma agraria, masyarakat adat, maupun kelestarian lingkungan.
Baca juga: Pengamat UI Kusnanto Anggoro: UU Cipta Kerja Revolusi Legislasi di Indonesia
"Filosofi UU sebelumnya dirubah semua menjadi satu tajuk, yakni investasi. Kedepan aturan-aturan turunannya juga akan semakin bias dari filosofi awal UU sebelumnya apalagi filosofi Konstitusi dan Pancasila," kata Imanuel.
Sementara Guru Besar Hukum Agraria UGM Prof. Maria menyampaikan bahwa regulasi yang tercipta selama ini bertentangan secara eksplisit dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3 dan UUPA No.5 Tahun 1960.
"UUPA No.5 Tahun 1960 melalui Land Reform yang seharusnya berbicara soal kedaulatan rakyat, justru melalui Undang Undang dan regulasi turunannya justru sama sekali tidak menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Saya miris melihat ketimpangan yang selama ini terjadi karena pemerintah dalam membuat kebijakan lebih mengedepankan unsur-unsur politik dan investasi ekonomi daripada nilai-nilai filosofis, historis, dan sosiologis dari terciptanya UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960. Sudah banyak masukan yang kita sampaikan, tapi tetap saja tidak didengar," kata Prof. Maria.
Hal senada juga diungkapkan Sekjend KPA Dewi Kartika yang beranggapan pemerintah ingin menciptakan negaraisasi tanah.
Dewi juga menegaskan KPA akan menolak segala kebijakan pemerintah yang tidak mencerminkan keberpihakan pada rakyat.
"Pemerintah melalui regulasi-regulasinya ingin menciptakan negaraisasi tanah, dimana lahan-lahan produktif pertanian nantinya akan dengan mudah berganti menjadi pengadaan tanah untuk investasi ekonomi berkelanjutan. KPA konsisten untuk menjalankan langkah-langkah hukum, sosial dan moril untuk menolak UU Cipta Kerja dan regulasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat," kata Dewi.
Sementara Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati menuturkan pemerintah melalui investasi ekonomi yang dilakukan selama ini telah mengakibatkan kerusakan alam yang sangat parah. Nur Hidayati mengkhawatirkan UU Cipta Kerja akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah lagi.
"Pemerintah melalui kebijakan investasi ekonominya selama ini telah mengakibatkan kerusakan alam yang sangat parah. Belum lagi, dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada rakyat ini, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang lebih parah melalui dalil pengadaan tanah untuk investasi. Ini akan memakan waktu yang sangat lama untuk proses pemulihan lahannya nanti," ujar Nur Hidayati.
Kemudian, Direktur PB AMAN Arifin Saleh mengatakan pemerintah selama ini cenderung mengesampingkan keberadaan masyarakat adat.
Padahal, kata Arifin, keinginan dari kelompok masyarakat adat adalah agar pemerintah memberi kepastian hukum terhadap keberadaan masyarakat adat.
"Investasi pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini justru banyak mengorbankan masyarakat adat. Padahal masyarakat adat selama ini ikut membantu pemerintah melalui konsep kedaulatan pangannya. Pemerintah seharusnya memperhatikan masyarakat adat dengan memberikan sebuah kepastian hukum atas keberadaan masyarakat adat melalui pembuatan Undang-Undang Masyarakat Adat," kata Arifin.
Ketua Bidang Reforma Agraria DPP GMNI Irfan Fajar Satriyo Nugroho yang hadir sebagai moderator acara turut menyampaikan bahwa pemerintah harus menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUPA No.5 Tahun 1960.
"Selama ini yang terjadi justru kedaulatan di tangan investor dan pemilik kepentingan. Kalau kita ingin mewujudkan Reforma Agraria sejati, kita harus menempatkan kedaulatan rakyat diatas segalanya sebagaimana yang diamanatkan UUPA No.5 Tahun 60," kata Irfan.