TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suhu politik antara AS dan China semakin memanas. Imbasnya Laut China Selatan jadi arena dua negara adidaya tersebut.
Indonesia yang posisinya berada di kawasan Laut China Selatan sudah mendapatkan kunjungan kilat dari Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga.
Setelah PM Jepang, Menteri Luar Negeri Amerika Amerika Mike Pompeo juga berencana akan mengunjungi Indonesia pekan depan.
Baca juga: Kunjungi Indonesia, Menlu AS Mike Pompeo akan Hadiri Acara Ini
Ini merupakan perjalanan pertama Menlu AS itu ke Indonesia sejak menjabat.
Pompeo mengatakan kepada wartawan di Washington bahwa ia berharap akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
Kunjungan Pompeo datang setelah AS melakukan pendekatan tingkat tinggi kepada Retno dan menteri pertahanan Indonesia Prabowo Subianto pada akhir Juli dan awal Agustus untuk memberikan hak pendaratan dan pengisian bahan bakar untuk pesawat pengintai P-8 yang memantau aktivitas militer China.
Baca juga: Presiden Brasil Tolak Vaksin Covid-19 dari China: Orang Brasil Tak Akan Jadi Babi Guinea Siapapun
Tawaran itu, pertama kali dilaporkan oleh Reuters, ditolak oleh Jokowi, menurut empat pejabat senior.
Indonesia telah lama mengikuti kebijakan luar negeri yang netral dan tidak pernah mengizinkan wilayahnya untuk digunakan sebagai tempat panggung operasi militer asing. Pompeo dan Menteri Pertahanan Mark Esper juga akan melakukan kunjungan ke India, Sri Lanka, Maladewa.
Saat ditanya spesifik mengenai kunjungan ke Indonesia, Pompeo menyatakan ia tahu orang Indonesia memiliki keinginan serupa dengan negara Asia Tenggara lainnya yakni Indo-Pasifik yang terbuka.
Negara-negara Asia Tenggara, kata dia, ingin memastikan hak-hak dasar, hak maritim, hingga hak kedaulatan.
Baca juga: China Meradang, Deplu AS Beri Lampu Hijau Soal Kesepakatan Senjata dengan Taiwan
"Kemampuan mereka untuk melakukan tiap urusan dengan cara yang mereka inginkan di dalam negara mereka (yang) terus-menerus diancam oleh China," ucap Pompeo.
Pompeo diketahui telah mengobarkan perlawanan terhadap China dalam berbagai hal, mulai dari perdagangan, keamanan, hingga pandemi Covid-19.
Pada bulan Juli, Amerika Serikat mencap klaim luas Beijing di Laut China Selatan sarat sengketa dan ilegal.
Baca juga: China Sebar Rudal Hipersonik DF-17 ke Wilayah Pesisir yang Berhadapan dengan Taiwan
"Saya yakin pertemuan saya juga akan mencakup diskusi tentang bagaimana negara-negara bebas dapat bekerja sama untuk menggagalkan ancaman yang ditimbulkan oleh Partai Komunis China," kata Pompeo.
Sri Lanka dan Maladewa telah menjadi pusat utama belanja infrastruktur oleh China, yang membuat khawatir Amerika Serikat dan India.
Saudara laki-laki Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa meminjam miliaran dolar dari China untuk proyek-proyek termasuk pelabuhan, jalan raya dan kereta api. Beberapa di antara pinjaman menghadapi tumpukan utang.
China Meradang
Di sisi lain, Pentagon menyampaikan bahwa Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) telah menyetujui penjualan persenjataan canggih senilai lebih dari 1,8 miliar dolar AS ke Taiwan.
Lembaga tersebut meninggalkan kongres untuk memberikan otorisasi akhir, lantaran China mengecam kesepakatan itu sebagai aksi provokatif dan memperingatkan akan adanya aksi balasan.
Menurut Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan AS yang memberitahu anggota parlemen tentang kesepakatan tersebut, transfer senjata yang diusulkan itu telah disertifikasi oleh Deplu AS pada hari Rabu kemarin waktu setempat.
Dikutip dari laman Russia Today, penjualan tersebut termasuk diantaranya peluncur roket, Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS), rudal udara ke darat jarak jauh yang diproduksi oleh Boeing serta peningkatan sensor untuk jet tempur F-16 Taiwan.
Semuanya sesuai dengan kebutuhan dan mencapai nilai lebih dari 1,8 miliar dolar AS. Kesepakatan itu muncul di tengah laporan bahwa kesibukan transfer senjata lainnya ke Taiwan sedang dalam berbagai tahapan persetujuan.
Baca juga: Embargo PBB Berakhir, Iran Sekarang Bebas Beli dan Jual Peralatan Militer
Termasuk di antaranya drone MQ-9 Reaper canggih dan sistem pertahanan rudal pesisir, serta senjata lainnya senilai antara 5 hingga 7 miliar dolar AS.
Meskipun pemerintahan sebelumnya telah menandatangani kesepakatan serupa, Presiden AS Donald Trump telah mengawasi peningkatan transfer ke pulau itu.
Ia menjual total senjata senilai 15 miliar dolar AS sejak menjabat, menurut pejabat AS yang dikutip oleh Wall Street Journal (WSJ). Sementara penjualan tiga sistem senjata pada hari Rabu kemarin masih membutuhkan otorisasi Kongres.
China menegaskan bahwa kesepakatan itu akan secara serius membahayakan kepentingan keamanan negaranya dan melemahkan hubungan antara AS dan China.
Tidak ada tindakan pencegahan khusus yang diusulkan, namun negara yang dipimpin Xi Jinping itu sebelumnya telah menjatuhkan sanksi pada produsen senjata AS setelah penjualan ke Taiwan, termasuk Lockheed Martin.
Transfer juga dilakukan saat AS meningkatkan operasi militernya di Laut China Selatan dan Timur, melakukan unjuk rasa reguler misi kekuatan menggunakan alat pembom jarak jauh, dan penerbangan mata-mata dengan pesawat pengintai serta pelayaran bebas navigasi.
Pekan lalu, sebuah kapal perusak Amerika transit di Selat Taiwan, terkait hal itu Pentagon menyatakan bahwa ini adalah 'misi rutin'.
Menanggapi hal tersebut, China pun memberi ultimatum dan memperingatkan bahwa pasukannya akan tetap dalam posisi 'siaga tingkat tinggi', setelah mengetahui adanya serangkaian operasi serupa di selat itu.
Penjelasan Taiwan
Menteri Pertahanan Taiwan Yen De-fa mengatakan pada hari Kamis (22/10/2020), Taiwan tidak ingin terlibat dalam perlombaan senjata dengan China melainkan meningkatkan kemampuan tempur yang kredibel.
Hal itu diungkapkan Yen De-fa setelah Amerika Serikat menyetujui potensi penjualan senjata senilai US$ 1,8 miliar ke Taiwan.
Melansir Reuters, Beijing telah meningkatkan tekanan pada Taiwan, termasuk dengan menerbangkan jet tempur melintasi garis tengah Selat Taiwan yang sensitif, yang biasanya berfungsi sebagai wilayah penyangga tidak resmi.
Untuk meningkatkan kemampuan militernya, Taiwan membeli senjata baru dari AS. Adapun paket senjata AS terbaru termasuk sensor, rudal dan artileri.
Selain itu, Taiwan juga akan membeli drone yang dibuat oleh General Atomics dan rudal anti-kapal Harpoon berbasis darat, yang dibuat oleh Boeing Co, yang dapat berfungsi sebagai rudal jelajah pertahanan pantai.
Berbicara kepada wartawan, Yen berterima kasih kepada Amerika Serikat dan mengatakan pembelian senjata itu untuk membantu Taiwan meningkatkan kemampuan pertahanan mereka dalam menghadapi "ancaman musuh dan situasi baru".
"Ini termasuk kemampuan tempur yang kredibel dan kemampuan peperangan asimetris untuk memperkuat tekad kami dalam mempertahankan diri," tambahnya.
Dia menambahkan, “Ini juga menunjukkan betapa pentingnya AS terhadap keamanan di Indo Pasifik dan Selat Taiwan. Kami akan terus mengkonsolidasikan kemitraan keamanan kami dengan Amerika Serikat.”
(Tribun Network/fit/russia today/reuters/afp/mal/wly)