Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Peran orang keturunan Tionghoa di Indonesia ternyata menginspirasi lahirnya nasionalisme Indonesia.
Hal itu terungkap dalam webinar baru-baru ini diselenggarakan oleh NKRI OZ Community Inc. bekerja sama dengan Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA).
"Acara itu ditujukan untuk mengulas peran orang-orang keturunan Tionghoa sejak peristiwa pergerakan pemuda, perjuangan kemerdekaan hingga masa pembangunan dan reformasi sekarang ini. Webinar sekaligus untuk menegaskan hal tersebut dalam semangat nasionalisme dan perayaan Sumpah Pemuda,” ujar Andrew Wanandy, ketua panitia webinar, yang juga adalah presiden NKRI OZ Community Inc. kepada Tribunnews.com kemarin (29/10/2020).
Hadir sebagai pembicara adalah Azmi Abubakar (pendiri Museum Pusaka Peranakan Tionghoa), Siauw Tiong Djin (pemerhati politik Indonesia), Nur Arif (Penasihat Lesbumi, PCNU Depok) dan Yunarto Wijaya yang dikenal sebagai Direktur Eksekutif Charta Politika. Jalannya diskusi dipandu oleh Soraya Permatasari, Bloomberg Asia Pacific Editor for Breaking News yang juga adalah Ketua FMIA.
Webinar bertajuk Nasionalisme dan Peran Tionghoa, Peran Tionghoa sejak Sumpah Pemuda, Masa Kini dan Masa Depan.
Acara diadakan pada Jumat, 23 Oktober 2020 jam 16:00 WIB / 20:00 AEDT melalui platform Zoom dan live streaming di platform Youtube dan Facebook melalui laman FMIA dan NKRI OZ.
Dalam materi yang dibawakan, Azmi mengetengahkan peran penting orang-orang Tionghoa dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 1928. “Bahkan rumah yang dipakai untuk acara tersebut adalah milik seorang Tionghoa, Sie Kong Lian.
Sementara Tiong Djin, peraih gelar PhD Ilmu Politik Monash University di Melbourne, Australia, mengemukakan pentingnya bagi generasi muda untuk mengerti betapa banyak stereotipe yang beredar tentang Tionghoa yang bertentangan dengan fakta sejarah yang ada. Bahwa orang-orang Tionghoa memiliki andil besar dalam menginspirasi lahirnya nasionalisme Indonesia.
“Sayangnya pemerintah kurang, atau tidak berupaya untuk memperbaiki bahan-bahan sejarah yang diajar di sekolah-sekolah atau memperbaiki bahan sejarah resmi yang dikeluarkan pemerintah.”
Berbeda dengan Azmi dan Tiong Djin, Nur Arif, penasehat Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) PCNU Depok, mengajak peserta untuk memahami sejarah kedatangan kaum Tionghoa ke Indonesia bahkan sejak tahun 400 Masehi.
Ia menghadirkannya dalam perspektif Islam Nusantara. Di akhir materinya, Nur Arif yang juga seorang Doktor ahli biomolekuler dari Fakultas Kedokteran UI dan Tohoku University, Jepang ini mengemukakan pertanyaan menarik, “Masih relevankah kita memandang etnis Tionghoa sebagai sebutan non- pribumi?”
Yunarto Wijaya yang juga dikenal sebagai pengamat politik Tanah Air menampilkan materi berjudul Nasionalisme dan Peran Tionghoa.
Toto, begitu ia akrab disapa, menyoroti nasionalisme yang dalam konteks Indonesia adalah sebuah konstruksi sosial yang terus mengalami kontestasi. Mulai dari basis legitimasi berhadapan dengan tekanan globalisasi, kebangkitan ‘kesukuan’ dikomunikasikan dalam logika identitas primordial hingga begitu banyaknya yang menjiwai nasionalisme ini dalam konteks asli vs pendatang, menjadi alasan untuk anti-asing.