Menurut Toto, perlu upaya “menulis ulang” Tionghoa di Indonesia yang tidak berpatokan pada masa lalu dan tidak terpaku pada bidang politik dan ekonomi.
Secara realistis, cara pandang berbeda terhadap konsep kebangsaan sangat diperlukan apabila stigma tentang Tionghoa ingin kita ubah. Narasi baru Nasionalisme harus fokus pada sisi kemanusiaan, agar tidak terjebak pada kilau etnis tertentu.
Webinar diikuti oleh sekitar 300 orang yang hadir dari berbagai wilayah di Indonesia maupun di luar negeri.
Turut memberikan pernyataan adalah Christianto Wibisono, Christian Silman (cicit daripada pemilik gedung Sumpah Pemuda di Kramat Raya), Grace Natalie (politikus wanita) dan Mari Elka Pangestu, Direktur Pelaksana Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan Bank Dunia.
Dalam video yang dikirimnya, Mari Pangestu menyatakan, “Walau kita ini keturunan (Tionghoa -red), kita adalah 100 persen orang Indonesia.”
Christianto Wibisono dalam komentarnya kepada Tribunnews.com mengungkapkan, "Sebenarnya harus ada kearifan presiden atas nama negara untuk meminta maaf atas kerusuhan rasial berkala mengutuk aksi pelanggaran HAM berat yang menelan korban harta jiwa etnis Tionghoa agar tidak terulang di kemudian hari."
Pemerintah, tambah Christianto, haruslah tegas menghukum pelaku dan otak intelektual di balik aksi rasial seperti itu dan hal tersebut harus merupakan bagian dari rekonsiliasi nasional sosial politik 75 tahun Republik Indonesia.
Sementara itu telah terbit buku baru "Rahasia Ninja di Jepang" yang sangat menarik, informasi lebih lanjut ke: info@ninjaindonesia.com