Dinamika kehidupan Bung Tomo terus bergulir setelah peristiwa Pertempuran Surabaya itu.
Ia semakin dikenal karena kiprahnya.
Kemudian, pada 1946 ia diangkat menjadi Kepala Perlengkapan di Kementerian Pertahanan.
Ada cerita menarik yang dituturkan Sulistiani, istri Bung Tomo, dalam buku Bung Tomo Suamiku.
Bung Tomo pernah mendapat telegram dari atasannya, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.
Isinya, ia diminta memilih: tetap menjadi jenderal, tetapi tidak boleh lagi berpidato atau berhenti menjadi jenderal dan tetap berpidato.
Bung Tomo pun memilih yang kedua.
Kisahnya di pemerintahan tidak berhenti.
Baca juga: 35 Ucapan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2020, Cocok untuk Update Status di Media Sosial
Baca juga: Selamat Hari Pahlawan! Ini 10 Rekomendasi Film Bertema Perjuangan yang Wajib Kamu Tonton!
Pada 1950 Bung Tomo diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata.
Ia juga menjabat anggota DPR pada 1956–1959 mewakili Partai Rakyat Indonesia.
Berada dalam lingkaran kekuasaan tak membuatnya kehilangan daya kritis.
Ia pernah mengkritik kepemimpinan Sukarno, juga Soeharto pada era orde baru.
Kritiknya kepada Soeharto itu membuatnya ditahan selama setahun pada 1978.
Setelah dilepaskan, ia lebih berfokus pada keluarga demi mengupayakan pendidikan terbaik bagi kelima anaknya.
Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981 ketika sedang menunaikan ibadah haji di Padang Arafah.
Jenazahnya dibawa ke Tanah Air dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Ngagel di Surabaya.
Gelar Pahlawan Nasional disematkan kepadanya bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan pada 2008.
(Tribunnews.com/Yurika)