TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Merespon penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh anggota Kepolisian Resor Merauke dengan tuduhan makar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid angkat bicara.
“Rapat Dengar Pendapat yang dipersiapkan oleh Majelis Rakyat Papua di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin.” ucap Usman Hamid, Sabtu (21/11/2020).
“Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia." sambungnya.
Baca juga: KPK Telusuri Proses Pencairan Anggaran Gereja Kingmi di Papua
Baca juga: Kogabwilhan III: Kelompok Kriminal Bersenjata Diduga Tembak 2 Warga Papua di Ilaga
Baca juga: Survei Kemenkes dan ITAGI: Penolakan Vaksin Covid-19 Tertinggi di Aceh dan Terendah di Papua
Usman Hamid menjelaskan Majelis Rakyat Papua merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus.
Seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi di sana.”
“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini, akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional.” tambahnya.
Sebelumnya diberitakan Kompas.com, Polisi membubarkan kegiatan rapat dengar pendapat (RDP) yang diselenggarakan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Hotel Valentine, Kabupaten Merauke, Selasa (18/11/2020) siang.
RDP itu membahas evaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.
Kapolres Merauke, AKBP Untung Suriatana menjelaskan, pembubaran RDP yang hendak dimulai itu karena penyelenggara tak mengindahkan protokol kesehatan.
Saat proses pemeriksaan, ada peserta RDP yang berusaha membuang dokumen ke luar hotel. Tindakan salah satu peserta itu diketahui polisi.
"Pertama acara itu melanggar protokol kesehatan, tetapi tiba-tiba dalam (proses) cek dan re-check ada dokumen lain yang dibuang keluar (Hotel Valentine), itu buku kuning itu," kata Untung saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (18/11/2020).
Setelah temukan, ternyata buku itu berisi tentang pedoman dasar negara republik federal Papua Barat.
Baca juga: Kampanye Hitam Sawit di Papua Dinilai Bisa Hambat Investasi
Untung menegaskan, polisi menemukan dugaan makar dalam rapat yang sejatinya membahas evaluasi penerapan UU tentang Otsus Papua tersebut.
"Di situ ada nama presiden, ada barang bukti buku, ada laptop yang kita masih amankan," kata dia.
Sebanyak 54 orang diamankan polisi terkait kasus itu. Selama ditahan, mereka diperlakukan dengan baik.
Kini, 54 orang itu telah dipulangkan. Mereka terdiri dari sejumlah anggota MRP dan peserta lain.
"Kemarin kita tahan semua dalam rangka mengambil data, kita periksa kesehatannya, kita layani makan minumnya, tempat tidur kita kasih, mereka kita tahan di aula dan kasih tempat tidur militer yang bagus," tuturnya.
Sebelumnya, rombongan MRP yang hendak mengadakan RDP di Kabupaten Jayawijaya ditolak masyarakat. Mereka ditolak saat tiba di Bandara Wamena pada Minggu (15/11/2020).
Sempat tertahan di bandara selama enam jam, rombongan MRP akhirnya kembali ke Jayapura pada Minggu sore.