Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim Luhut Binsar Panjaitan meminta beberapa hal kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terkait tugas lembaga antirasuah tersebut.
Meski tak menyebut langsung, hal tersebut berkaitan dengan terjeratnya Edhy Prabowo oleh KPK dalam dugaan kasus ekspor benur.
"Saya minta KPK juga periksa sesuai ketentuan yang bagus saja," kata Luhut dalam konferensi pers di kantor Kementerian KKP, Gambir, Jakarta, Jumat (27/11/2020).
Menurutnya, tak semua orang jelek dan itu tak bisa dipukul rata.
"Jangan berlebihan. Enggak semua orang jelek, ada yang baik," tambahnya.
Baca juga: Menteri KP Ad Interim, Luhut Pandjaitan Puji Edhy Prabowo, Pastikan Tidak Ada Perubahan Program
Luhut sebelumnya sempat mengapresiasi apa yang dilakukan Edhy setelah terjerat kasus ini. Menurutnya, Edhy adalah orang baik.
"Beliau langsung ambil alih, tanggung jawab dan itu sebagai kesatria. Dan itu kita harus hormati juga hal-hal semacam itu," pungkasnya.
Diketahui, KPK sejauh ini baru menetapkan tujuh orang tersangka atas kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 alias suap ekspor benur lobster.
Baca juga: Gerindra Minta Maaf Ke Presiden Jokowi Atas Ditangkapnya Edhy Prabowo
Ketujuh orang itu yakni, Menteri KKP, Edhy Prabowo (EP); Stafsus Menteri KKP, Safri (SAF); Staf khusus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misata (APM).
Kemudian, Pengurus PT ACK, Siswadi (SWD); Staf Istri Menteri KKP, Ainul Faqih (AF); dan Amiril Mukminin (AM). Mereka adalah tersangka penerima suap.
Sedangkan satu tersangka pemberi suap yakni, Direktur PT DPP, Suharjito (SJT).
Kasus bermula ketika Menteri KP Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Ia menunjuk Andreau sebagai Ketua Tim Uji Tuntas dan Safri (staf Menteri KP) selaku Wakil Ketuanya.
Baca juga: Sekjen KKP: Surat Pengunduran Diri Pak Edhy Sudah Ditandatangani
Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.
Karyoto menuturkan, pada awal bulan Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan Safri.
"Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp1.800/ekor yang merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin dengan Andreau dan Siswadi," ujarnya.
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564.
Selanjutnya PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK.
Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amri (AMR) dan Ahmad Bahtiar (ABT) yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy serta Yudi Surya Atmaja (YSA).
"Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR dan ABT masing-masing dengan total Rp9,8 miliar," tutur Karyoto.
Kemudian pada 5 November 2020 diduga terdapat transfer dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih (staf istri Menteri KKP) sebesar Rp3,4 miliar. Uang itu diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istrinya Iis Rosita Dewi, Safri dan Andreau.
"Antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan Iis di Honolulu, AS, di tanggal 21-23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa Jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy," terang Karyoto.
Ia menuturkan Edhy kembali menerima uang sebesar 100 ribu dolar AS dari Suharjito dan Amiril Mukminin pada Mei 2020.
"Selain itu, Safri dan Andreau pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp436 juta dari Ainul Faqih," kata Karyoto.
Keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.