TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Herzaky Mahendra Putra menyatakan, masih banyak masyarakat yang belum memandang Covid-19 sebagai hal nyata.
Perbedaan pemahaman ini muncul karena perbedaan informasi yang didapat dan pengalaman dalam berhadapan dengan pandemi covid-19.
Karena itu, perlu dilakukannya edukasi secara terukur dan terarah sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat.
Baca juga: Rizieq Shihab Minta Maaf Soal Pelanggaran Protokol Kesehatan, Itu di Luar Keinginan
Baca juga: Kemendikbud Kampanyekan Protokol Kesehatan dalam 77 Bahasa Daerah
"Edukasi ini harus dilakukan secara konsisten. Setelah itu, baru lah kita bisa berbicara mengenai sanksi. Orang belum paham, masak langsung diberikan sanksi?" ucap Herzaky dalam Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI yang digelar secara daring, Rabu (2/12/2020).
Sedangkan sanksi itu sendiri, menurut Herzaky, harus mengandung unsur keadilan, baik di tingkat kebijakan maupun penerapannya.
Dalam kesempatan yang sama, pakar Kriminologi Universitas Indonesia, Bhakti Eko Nugroho menyebutkan dimensi pelanggaran protokol kesehatan, terbagi menjadi dua menjadi dua.
Pertama, level individual, pelanggaran protokol sebagai everyday crime. Hal ini menyangkut attitude perorangan dan kesadaran individu, jadi penanganannya harus konsisten.
Kedua, level kolektif, pelanggaran protokol sebagai dinamika sosial-politik, menyangkut identitas dan tidak bebas dari kepentingan politis.
Bila pelanggaran individu sudah bergeser menjadi pelanggaran kolektif akan lebih sulit penanganannya.
Beberapa upaya pendisiplinan masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan telah dilakukan oleh Pemerintah, seperti wacana pelibatan pereman.
Hal ini dapat timbul karena adanya ketidakpercayaan pemerintah, akibatnya dapat menimbulkan gesekan sosial dan kontraproduktif karena melibatkan kelompok preman dalam upaya pendisiplinan masyarakat.
”Kita juga menghargai upaya pemerintah terhadap integrasi dan asimilasi terhadap 39.876 narapidana” tuturnya.
Hal ini menjadi salah satu upaya yang perlu di respon baik. Namun di sisi lain, penahanan tersangka kejahatan tertentu tidak bisa ditangguhkan.
Jumlah orang yang masuk ke tahanan tetap akan ada dan tidak bisa di manage dengan baik. Menjadikan sulitnya penerapan social distancing di dalam penjara, situasi seperti ini dapat mengakibatkan cluster penularan baru.
Bhakti menyebutkan “kebebasan berpendapat versus protokol kesehatan” sering menjadi dilema. Masyarakat seharusnya bisa mengedepankan kesejahteraan bersama di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Salah satu upayanya dengan tidak menyuarakan pendapat secara berkerumun (demo) dan hal sejenisnya terlebih dahulu untuk menekan angka penularan Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Dr Yunis Miko, sebagai Epidemiolog Universitas Indonesia menyatakan bahwa protokol kesehatan harus dilaksanakan pada semua aktivitas masyarakat di setiap sektornya untuk mencegah penularan Covid-19.
Namun, protokol kesehatan di masing-masing sektor akan berbeda disesuaikan dengan tingkat resikonya. Misalnya pasti akan ada perbedaan protokol kesehatan di sektor pariwisata, antara tempat wisata indoor dan outdoor.
“Workplace itu juga harus jelas dengan protokol kesehatannya” katanya.
Community engagement juga sangat penting karena melibatkan protokol kesehatan pada perusahaan-perusahaan, restoran, sekolah, semua harus ikut serta dalam penanggulangan Covid-19.
Dia juga menambahkan, seharusnya upaya pemutusan mata rantai penularan diterapkan mulai dari tingkat individu. Masyarakat diharapkan patuh terhadap protokol kesehatan yang berlaku.
Selain itu protokol kesehatan bukan hanya 3M (Memakai masker, Menjaga jarak, Mencuci tangan menggunakan sabun) namun protokol yang sudah di buat oleh masing-masing sektor harus dilaksanakan dengan baik. Misalnya masyarakat di tempat kerja mematuhi protokol kesehatan di tempat kerja.
“Perlu pendekatan kolaboratif untuk mendisiplinkan masyarakat yang heterogen, seperti di Indonesia. Dapat berupa gabungan dari pendekatan edukatif, persuasif, promotif, ataupun diktatif. Hal ini disesuaikan dengan masing-masing karakteristik dari suatu kelompok masyarakat. Sulit mendisiplinkan masyarakat apabila tidak ada sanksi hukum yang adil dan menyeluruh,” kata dia.
Dalam penutupnya, Herzaky yang juga sebagai Ketua ILUNI UI berpendapat bahwa Pemerintah seharusnya bisa mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan atau “guide by science not by politics”.
”Perlu ada pemetaan wilayah terdampak pandemi covid-19 ke dalam green zone, yellow zone, dan red zone. Penerapan suatu kebijakan dan sanksi tidak boleh disamaratakan antara red zone, yellow zone dan green zone” tekannya.
Herzaky juga meminta para tokoh publik, para pemimpin formal maupun informal, untuk memberikan teladan dalam penerapan protokol kesehatan maupun ikut memberikan pemahaman kepada publik, massa, pendukung, pengikut, bawahannya, mengenai isu pandemi covid-19 ini dan pentingnya menerapkan protokol kesehatan.