Dalam diskusi perdana yang dimoderatori Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id, Nurlis Effendi, hadir sebagai pembicara Direktur Proteksi Ekonomi Digital BSSN Anton Setiyawan, Pakar Hukum Telematika Edmon Makarim, dan Pakar Forensik Digital Ruby Alamsyah.
Acara ini juga diikuti sekitar 250 peserta dari kalangan umum, dosen dan mahasiswa dari berbagai universitas, seperti Universitas Malahayati Bandar Lampung, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Universitas Muhammadiyah Kotabumi, STMIK Prabumulih, dan IIM Surakarta.
Subspektrum serangan
Menurut Hinsa, dalam serangan teknis memiliki tiga subspektrum, yaitu intensitas tinggi, sedang, dan rendah.
Ciri-ciri serangan siber berintensitas tinggi, kata Hinsa, penyerang menggunakan metode-metode canggih seperti malware yang dirakit dengan kemampuan tingkat tinggi seperti logic bomb atau zero-day exploit.
Serangan tipe ini menargetkan pada sistem kontrol industri (Supervisory Control And Data Acquisition/SCADA), seperti layanan listrik dan lainnya, sehingga dapat melumpuhkan infrastruktur informasi vital nasional sebuah negara.
Lalu, serangan intensitas sedang mencakup akses ilegal ke dalam sistem informasi.
"Contohnya, hacking, malware, trojan, virus, worms, atau rootkit, dengan tujuan untuk memanipulasi informasi atau tujuan lain termasuk pemerasan," ujarnya.
Hinsa mejelaskan, serangan intensitas rendah berwujud propaganda, mempermalukan/mengganggu, dan atau menghilangkan kepercayaan publik terhadap target.
"Contohnya, web defacement, doxing (pengambilan informasi rahasia dari individu/organisasi/negara), Denial of Service (DoS), hacking akun media sosial, dan Distributed Denial of Service (DDoS)," ujar Hinsa.
Dikarenakan karakteristik ruang siber yang begitu terbuka dan terhubung luas melalu internet, otomatis captive market (pasar potensial) penjahat siber lebih besar dibandingkan kejahatan di dunia nyata.
Oleh karenanya, masyarakat—dalam hal ini pengguna internet—perlu pula mengenali dan mencermati bentuk-bentuk serangan siber.
Pakar Forensik Digital Ruby Alamsyah pun memberikan gambaran bagaimana ekonomi digital di Indonesia yang mulai tumbuh juga rentan dimanfaatkan oleh penjahat siber.
"Karena kesadaran keamanan TI masih cukup rendah, mereka menjadi target yang rentan,” ujar Ruby.