TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Timur menggelar sidang perkara surat jalan palsu dengan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra, Jumat (11/12/2020).
Agenda sidang mendengar pengajuan pledoi terdakwa atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam pledoinya, Djoko Tjandra mengungkit soal kecintaannya dengan Indonesia yang telah membesarkan dan membuatnya sukses.
"Saya mencintai Indonesia sebagaimana cinta seorang anak kepada Ibunya yang telah melahirkan, membesarkan, dan membuatnya jadi sukses," kata Djoko Tjandra membacakan pledoinya.
Djoko Tjandra mengatakan dirinya pulang ke Indonesia karena rindu setelah 11 tahun meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.
Namun setiap kali dirinya mengungkap mau pulang ke Indonesia, para rekan - rekan bisnis selalu menyinggung soal ketidakadilan hukum Indonesia yang menimpanya.
"Buat apa pulang ke Indonesia yang sudah memperlakukan kamu secara tidak adil, yang menghukummu secara tidak adil, yang telah menjadikan kamu sebagai korban miscarriage of justice dan korban ketidakadilan?!," kata Djoko Tjandra menirukan ucapan rekannya.
Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat ini mengaku paham dengan pernyataan rekan sejawatnya.
Baca juga: Djoko Tjandra Minta Dibebaskan dari Tuntutan Surat Jalan Palsu
Terlebih kata dia, di luar negeri ia bisa melakukan bisnis tanpa hambatan. Bahkan pemerintah asing mendukung bisnisnya. Beberapa pihak menggelar karpet merah agar dirinya mau mengembangkan investasinya di negara tersebut.
Bisnis di Indonesia juga disebut berjalan lancar tanpa perlu kehadiran fisik dirinya.
Tapi Djoko Tjandra, mengutip pepatah "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Tetap saja lebih baik negeri sendiri."
"Kata pepatah itu benar, dan itulah yang saya alami. Kerinduan untuk pulang ke tanah air Indonesia, sekalipun saya telah jadi korban miscarriage of justice dan korban ketidakadilan," ucap dia.
Miscarriage of justice dan korban ketidakadilan yang ia maksud, merujuk pada Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Penuntut Umum Kejari Jakarta Selatan yang kemudian dikabulkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Padahal kata dia, PK yang diajukan Jaksa Kejari Jakarta Selatan melanggar hukum sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014.
Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dinyatakan pada butir 3 bahwa jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK. Sebab yang berhak disebut diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1).
Lalu Djoko Tjandra menjelaskan sengaja kembali ke Indonesia setelah menetap lama di luar negeri karena ingin mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung R.I Nomor : 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut. PK disebut sebagai jalan hukum satu - satunya.
Dan untuk itu saya harus mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Apakah itu merupakan niat yang jahat?," ucapnya.
Namun ia mengaku tidak paham apa saja yang diperlukan untuk pengajuan PK. Oleh karena itu dirinya merekrut Anita Dewi Kolopaking sebagai advokatnya, dan temannya, Tommy Sumardi.
Djoko Tjandra tidak tahu bagaimana Anita dan dengan siapa saja ia mengurus segala keperluan pengajuan PK itu.
Ia mengaku tak kenal dengan Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte. Selaras dengan itu, ia menyebut fakta dalam persidangan juga menunjukkan bahwa dirinya tak tahu menahu, bahkan tak pernah bertemu dengan kedua saksi.
"Fakta-fakta dalam persidangan Perkara ini menunjukkan dan membuktikan bahwa sebelum saya pulang ke Indonesia saya tidak pernah bertemu dan tidak mengenal saksi-saksi," kata Djoko Tjandra.
Atas hal itu, Djoko Tjandra meyakini Majelis Hakim PN Jaktim yang menangani perkara ini mengetahui secara terang dan jelas tentang fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan.
Ia menegaskan dirinya bukan pelaku tindak pidana membuat dan atau menggunakan surat jalan palsu. Untuk itu ia semestinya diputus bebas.
"Saya percaya Majelis Hakim Yang Mulia melihat dengan terang dan jelas kebenaran-kebenaran dalam fakta-fakta yang terungkap di Persidangan ini, yakni saya bukanlah pelaku tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat sebagaimana Surat Tuntutan Penuntut Umum, dan atau saya bukanlah pelaku tindak pidana pemakai surat palsu atau surat yang dipalsu sebagaimana Surat Dakwaan Penuntut Umum, sehingga harus dibebaskan," ujar Djoko Tjandra.
Tuntutan Jaksa
Dalam surat tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara. JPU menyatakan Djoko Tjandra bersalah karena menyuruh melakukan tindak pidana memalsukan surat secara berlanjut.
Djoko Tjandra dituntut pidana penjara sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 ayat (1) ke (1) juncto 64 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan telah terbukti melakukan tindak pidana menyuruh pemalsuan surat berlanjut," kata Yeni Trimulyani selaku jaksa dalam perkara tersebut.
Dengan demikian, JPU meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap Djoko Tjandra.
"Menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama dua tahun penjara," sambung Yeni.