TRIBUNNEWS.COM - Rudy Heriyanto kini menjabat Kapolda Banten.
Irjen Rudy Heriyanto menjadi Kapolda Banten menggantikan Irjen Fiandar.
Ia merupakan perwira tinggi Polri yang mendapat giliran mutasi oleh Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis dalam Surat Telegram Kapolri bernomor ST/3435/XII/KEP/2020 tanggal 10 Desember 2020.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono membenarkan terkait adanya mutasi di tubuh Polri tersebut.
"Iya benar, untuk penyegaran organisasi. Mutasi adalah hal yang biasa," kata Argo saat dikonfirmasi, Kamis (10/12/2020) dikutip dari Kompas TV.
Dalam surat telegram tersebut, tertuang nama Kapolda Banten Irjen Fiandar yang digantikan oleh Irjen Rudy Heriyanto.
Baca juga: Bareskrim Periksa Saksi Hingga Anggota Polri Terkait Penyelidikan Bentrokan di Jalan Tol Japek
Adapun nama mantan Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri ini pernah menjadi sorotan dalam kasus penyiraman penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Lalu siapa dan bagaimana profil Rudy Heriyanto?
Lulusan Non Akpol
Penelusuran Tribunnews.com, Irjen. Pol. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H., M.B.A. (lahir di Jakarta, 17 Maret 1968; umur 52 tahun) adalah seorang perwira tinggi Polri.
Rudy merupakan alumni Sekolah Perwira Polri tahun 1993.
Berpengalaman dalam bidang reserse. Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Widyaiswara Utama Sespim Polri.
Baca juga: Polri Klaim Punya Bukti Laskar FPI Menggunakan Senjata Api dan Senjata Tajam
Jabat Kadivkum Polri Dilantik Jenderal Tito
Irjen Pol Rudy Heriyanto saat ini menjabat sebagai Kepala DIvisi Hukum (Kadivkum) Polri.
Ia dilantik pada 2019 oleh Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian.
Seperti halnya diberitakan dalam laman resmi polri.go.id, sertijab digelar di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/9/2019).
Sertijab digelar berdasarkan mutasi dengan nomor Nomor ST/2316/IX/KEP./2019 tertanggal Senin 2 Agustus 2019 yang ditandatangani oleh As SDM Kapolri, Irjen Eko Indra Heri.
Dalam mutasi dan promosi perwira tinggi polri itu, Irjen Rudy Heriyanto ditunjuk Kadiv Hukum Polri menggantikan Irjen Mas Guntur Laupe.
Irjen Mas Guntur Laupe mendapat tugas baru sebagai Kapolda Sulsel.
Riwayat Karier:
Kasubbid Peraturan Bid Kumdang Div Binkum Polri
Kapolres Cimahi (2010)
Kasubbagsun UU Bagsunkum Rosunluhkum Divkum Polri (2011)
Kaden C Ropaminal Divpropam Polri (2012)
Kabaginpam Ropaminal Divpropam Polri
Kapolres Metro Jakarta Barat (2015)
Dirreskrimum Polda Metro Jaya (2016)
Dirtipidter Bareskrim Polri (2017)
Dirtipideksus Bareskrim Polri (2018)
Widyaiswara Utama Sespim Polri (2019)
Kadivkum Polri (2019)
Awal Mula Terseret Kasus Novel Baswedan
Diberitakan Tribunnews.com, tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi.
Ketua tim pengacara dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itu diduga telah menghilangkan barang bukti dalam perkara tersebut.
"Proses penuntasan teror yang menimpa Penyidik KPK, Novel Baswedan, semakin suram. Sehingga, dapat dipastikan, Novel selaku korban tidak akan memperoleh rasa keadilan dalam penanganan perkara ini," kata anggota tim advokasi, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Selasa (7/7/2020).
Baca: Temui Jaksa Agung, Komisi III Soroti Tuntutan Rendah Terdakwa Penyiraman Novel Baswedan
Sebagaimana diketahui, Kurnia menerangkan, Irjen Rudy sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Saat itu, Irjen Rudy menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
"Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," terangnya.
4 Alasan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu kemudian membeberkan empat landasan yang membuat tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy ke Divisi Propam Polri.
Baca: Kuasa Hukum Novel Baswedan Pertimbangkan Gugat Pemerintah Secara Perdata
Pertama, sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan hilang.
Kata Kurnia, pada 17 April 2019 yang lalu Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menyampaikan bahwa tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.
Padahal dalam banyak pengakuan, baik dari korban ataupun para saksi, gelas tersebut ditemukan kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekira pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri.
"Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," ujar Kurnia.
Selain itu, lanjut Kurnia, botol dan gelas yang digunakan pelaku pun tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara ini.
Baca: Jelang Sidang Vonis Kasus Novel Baswedan, Kuasa Hukum Harap Diberi Laporan oleh KY
Bahkan dalam perkembangan penanganan perkara diketahui ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.
Hal ini terkait dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang itu masih berada di markas Brimob.
"Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," katanya.
Kedua, CCTV di sekitar kediaman Novel Baswedan tidak dijadikan barang bukti.
Kurnia mengatakan, pada 10 Oktober 2017 yang lalu Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa kepolisian telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.
Namun, berdasarkan pengakuan Novel dan saksi diketahui terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku akan tetapi tidak diambil kepolisian.
Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah Novel diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.
"Definisi dari barang bukti sebenarnya mencakup benda-benda yang dapat memberikan keterangan bagi penyelidikan tindak pidana, baik berupa gambar ataupun rekaman suara," ujarnya.
Selain itu, imbuh Kurnia, fungsi dari barang bukti juga sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang ditangani.
"Dapat simpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," katanya.
Ketiga, Cell Tower Dumps (CTD) tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara.
Kurnia menjelaskan, CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.
Namun dalam proses penanganan perkara, katanya, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian.
"Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular," kata Kurnia.
"Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya," sambungnya.
Keempat, minim penjelasan terkait sobekan baju gamis milik Novel Baswedan.
Kurnia mengatakan, pada persidangan tanggal 30 April 2020 majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh korban saat kejadian penyiraman air keras terjadi.
Namun, menurutnya, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.
Adapun menurut pengakuan dari kepolisian baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.
"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi," tegasnya.
Dalam hal ini, kata Kurnia, Novel Baswedan tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.
Berdasarkan poin-poin yang disebutkan, kata Kurnia, maka patut diduga Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan Dirkrimum Polda Metro Jaya melanggar ketentuan yang tertera dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Jangan Asal Tuduh
Sebelumnya Tribunnews.com mengabarkan, mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan bentukan Polri, Indriyanto Seno Adji, mengingatkan tim advokasi Novel Baswedan agar tidak menuduh eks Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Irjen Rudy Heriyanto atas penghilangan barang bukti.
Indriyanto meminta semua pihak bersikap bijak dan menunggu proses persidangan kasus penyiraman air keras selesai.
“Penyebutan dan tuduhan secara tegas jelas terhadap nama dan perbuatan dr Irjen Pol Rudy Heriyanto bahkan terviral melalui sarana online secara luas justru bersifat actual malice dan menimbulkan dugaan pencemaran nama baik yang dapat dituntut pidana berdasarkan UU ITE,” kata Indriyanto dalam keterangannya, Rabu (8/7/2020).
Pernyataan Indriyanto tersebut terkait laporan tim advokasi Novel Baswedan terhadap Irjen Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri.
“Saya meragukan obyektifitas laporan tim advokasi ke Propam tersebut yang bahkan terkesan subyektif,” kata Indriyanto.
Sebab, menurut Indriyanto, karena proses perkara masih berlangsung di Pengadilan, justru laporan tim advokasi menjadi tidak wajar.
“Ini yang disisi lain mengenai obyek yang sama masih dalam proses pemeriksaan di otoritas judisial,” katanya.
Indriyanto juga berpendapat laporan tim advokasi secara substansiel tidaklah benar.
Dia mencontohkan tudinga tim advokasi tentang botol Kosong.
TGPF, kata Indriyanto, menemukan bahwa botol itu bukan barang bukti, tapi digunakan untuk menampung air yang ditemukan di lantai.
“Ada BAP tentang penjelasan pengambilan barang bukti oleh Anggota Polres Jakut bahwa Botol itu dipakai untuk menampung sisa cairan air yang ditemukan di lokasi TKP yang diduga berkaitan dengan peristiwa penyiraman,” katanya.
Selain itu, tentang sidik jari. Menurut Indriyanto, TGPF melakukan penelitian secara detail dan memang tidak ada sidik jari di mug.
“Karena dipastikan pelaku menggunakan sarung tangan, dan lagi pula adalah sangat ceroboh sekali apabila pelaku bawa air asam sufat namun tidak menggunakan sarung tangan,” kata Indriyanto.
Indriyanto menyarankan agar semua pihak bersikap bijak sambil menunggu proses judisial yang masih berlangsung di pengadilan.
“Hindari laporan yang bersifat tuduhan actual malice, antara lain termasuk dalam hal ini adalah tuduhan kepada Irjen Pol Rudy Heriyanto atas penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya,” katanya.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Ilham Rian Pratama, Kompas TV)