TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra yang menjadi terdakwa kasus surat jalan palsu, dijatuhi vonis 2 tahun dan 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Putusan hakim lebih berat ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 2 tahun.
Kuasa hukum Djoko Tjandra, Krisna Murti menyesalkan putusan hakim tersebut.
Sebab hakim mengesampingkan alias tidak mempertimbangkan seluruh nota pembelaan (pleidoi) yang diajukan kliennya.
"Kami sangat menyesal sekali, artinya bahwa seluruh pertimbangan - pertimbangan yang kami ajukan dalam nota pembelaan sama sekali dikesampingkan," kata Krisna ditemui usai sidang pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (22/12/2020).
Baca juga: Breaking news: Hakim Vonis Djoko Tjandra 2,5 Tahun Penjara, Lebih Berat dari Tuntutan Jaksa
Namun sebaliknya, seluruh tuntutan JPU justru dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Terhadap kelanjutan atas putusan ini, Krisna mengaku tim kuasa hukum akan berunding dengan Djoko Tjandra membicarakan kemungkinan pengajuan banding.
"Selanjutnya kami akan pikir - pikir (menyikapi putusan) mungkin kami akan rundingkan kepada klien kami, akan kami lakukan upaya banding," pungkas dia.
Vonis Hakim
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis 2 tahun dan 6 bulan penjara kepada terdakwa kasus surat jalan palsu, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Vonis tersebut lebih tinggi ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Eks buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu terbukti sah dan meyakinkan membuat surat jalan palsu secara berlanjut.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut membuat surat palsu," kata Hakim Ketua Muhammad Sirat, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (22/12/2020).
"Menjatuhkan pidana terhadap Joko Soegiarto Tjandra dengan pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan penjara," sambungnya.
Terhadap putusan tersebut terdapat hal - hal yang memberatkan, yakni Djoko Tjandra melakukan perbuatan tindak pidana itu saat sedang melarikan diri dalam kasus hak tagih Bank Bali.
Djoko Tjandra juga dinilai membahayakan kesehatan masyarakat karena melakukan perjalanan tanpa tes kesehatan.
Sedangkan hal meringankan, Majelis Hakim memandang Djoko Tjandra bersikap sopan selama persidangan.
Terdakwa juga telah menyesali perbuatannya. Usia juga Djoko Tjandra yang sudah lanjut juga masuk dalam hal meringankan.
"Tindak pidana dilakukan saat melarikan diri, terdakwa membahayakan kesehatan masyarakat dengan melakukan perjalanan tanpa tes. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, menyesali perbuatannya dan terdakwa berusia lanjut," ucap Sirat.
Tuntutan Jaksa
Sebelumnya dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa, Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara. JPU menyatakan Djoko Tjandra bersalah karena menyuruh melakukan tindak pidana memalsukan surat secara berlanjut.
Djoko Tjandra dituntut pidana penjara sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 ayat (1) ke (1) juncto 64 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan telah terbukti melakukan tindak pidana menyuruh pemalsuan surat berlanjut," kata Yeni Trimulyani selaku jaksa dalam perkara tersebut.
Dengan demikian, JPU meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap Djoko Tjandra.
"Menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama dua tahun penjara," sambung Yeni.
Pleidoi Djoko Tjandra
Dalam pledoinya, Djoko Tjandra meyakini Majelis Hakim PN Jaktim yang menangani perkara ini mengetahui secara terang dan jelas tentang fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan.
Ia menegaskan dirinya bukan pelaku tindak pidana membuat dan atau menggunakan surat jalan palsu. Untuk itu ia semestinya diputus bebas.
"Saya percaya Majelis Hakim Yang Mulia melihat dengan terang dan jelas kebenaran-kebenaran dalam fakta-fakta yang terungkap di Persidangan ini, yakni saya bukanlah pelaku tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat sebagaimana Surat Tuntutan Penuntut Umum, dan atau saya bukanlah pelaku tindak pidana pemakai surat palsu atau surat yang dipalsu sebagaimana Surat Dakwaan Penuntut Umum, sehingga harus dibebaskan," kata Djoko Tjandra membacakan pledoinya, di PN Jakarta Timur, Jumat (11/12/2020).
Eks buronan kasus korupsi hak tagih (cassie) Bank Bali itu juga menyebut bahwa dirinya adalah korban ketidakadilan dan korban pelanggaran HAM.
Miscarriage of justice dan korban ketidakadilan yang ia maksud, merujuk pada Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Penuntut Umum Kejari Jakarta Selatan yang kemudian dikabulkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Padahal kata dia, PK yang diajukan Jaksa Kejari Jakarta Selatan melanggar hukum sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014.
Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dinyatakan pada butir 3 bahwa jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK. Sebab yang berhak diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1).
Lalu Djoko Tjandra menjelaskan sengaja kembali ke Indonesia setelah menetap lama di luar negeri karena ingin mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung R.I Nomor : 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut. PK disebut sebagai jalan hukum satu - satunya.
"Dan untuk itu saya harus mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Apakah itu merupakan niat yang jahat?," ucapnya.
Namun ia mengaku tidak paham apa saja yang diperlukan untuk pengajuan PK. Oleh karena itu dirinya merekrut Anita Dewi Kolopaking sebagai advokatnya, dan temannya, Tommy Sumardi.
Djoko Tjandra tidak tahu bagaimana Anita dan dengan siapa saja ia mengurus segala keperluan pengajuan PK itu.
Ia mengaku tak kenal dengan Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Selaras dengan itu, ia menyebut fakta dalam persidangan juga menunjukkan bahwa dirinya tak tahu menahu, bahkan tak pernah bertemu dengan kedua saksi.
"Fakta-fakta dalam persidangan Perkara ini menunjukkan dan membuktikan bahwa sebelum saya pulang ke Indonesia saya tidak pernah bertemu dan tidak mengenal saksi-saksi," kata Djoko Tjandra.