Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.
Namun, ia menekankan, seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.
"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).
Eddy juga pernah menjadi ahli dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang kerap dikenal sebagai kasus kopi sianida.
Kritik UU Cipta Kerja
Kendati kini bergabung dalam pemerintahan, Eddy juga dikenal sebagai salah satu sosok yang mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja.
Ia mengatakan, UU Cipta Kerja berpotensi menjadi "macan kertas" karena tidak memiliki sanksi yang efektif.
Ia juga menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai prinsip titulus et lex rubrica et lex yang berarti isi dari suatu pasal itu harus sesuai dengan judul babnya.
"Dia (UU Cipta Kerja) bisa sebagai macan kertas. Artinya apa? Artinya sanksi pidana dan sanksi-sanksi lainnya bisa jadi dia tidak bisa berlaku efektif," kata Eddy, Rabu (7/10/2020).
"Saya melihat dalam RUU Cipta Kerja itu ada sanksi pidana di dalamnya, tetapi di atas tertulisnya adalah sanksi administrasi.
Padahal, sanksi administrasi dan sanksi pidana itu adalah dua hal yang berbeda secara prinsip. Jadi judulnya sanksi administrasi, sementara di bawahnya itu sanksi pidana isinya," tambah Eddy.
Ia juga menilai ada kesalahan konsep penegakan hukum dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi ketika melakukan pelanggaran.
Sebab, dalam UU itu, pertanggungjawaban korporasi berada dalam konteks administrasi atau perdata.
Namun, aturan tersebut juga memuat sanksi pemidanaan bagi korporasi.