"Kendati begitu, Ormas yang tidak terdaftar harus diperlakukan secara setara dan diakui keberadaannya, sebagaimana halnya dengan Ormas yang terdaftar maupun berbadan hukum," katanya.
Pun demikian tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, menurut Ghufron harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law, dimana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya.
Nantinya, pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Kata Ghufron, hal ini senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”.
"Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan," jelas Ghufron.
Lebih jauh, dikatakannya, pilihan pelarangan kegiatan FPI melalui mekanisme SKB sesungguhnya telah mengingatkan pada keluarnya SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung) tentang pelarangan kegiatan Ahmadiyah pada 2008 lalu.
Pada prinsipnya, Ghufron menjelaskan bahwa SKB merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan (beschikking), sehingga muatan normanya harus bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai (einmalig).
Namun demikian, mencermati SKB di perkara FPI, imbuhnya, justru materi muatannya bersifat berlaku terus-menerus (dauerhaftig).
"Ketidakselarasan antara bentuk dengan materi muatan dalam SKB justru dikhawatirkan akan menciptakan risiko ketidakpastian hukum, yang akan berdampak pada potensi pelanggaran terhadap kebebasan sipil warga negara, seperti halnya yang dialami kelompok minoritas seperti Ahmadiyah selama ini," kata Ghufron.