Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di awal tahun 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen.
Kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.
Anggota DPR RI Fraksi PKS Nevi Zuairina menyebut, adanya kenaikan harga kedelai tersebut menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021.
Mengingat di tengah pandemi, yang saat ini mengalami daya beli masyarakat menurun.
“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik," kata Nevi melalui keterangannya, Selasa (5/1/2021).
Baca juga: Satgas Pangan Polri Bakal Pantau Lonjakan Harga Kedelai di Pasar
"Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual," imbuhnya.
Nevi menjelaskan, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700).
Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.
"Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan," katanya.
Baca juga: Mentan Sebut Pengembangan Kedelai Lokal Sulit Dilakukan, Ini Sebabnya
"Tentunya hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor," lanjutnya.
Lebih lanjut, Nevi mengingatkan pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai.
Pada saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun.
“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.
Atas dasar itu, Nevi menyarankan agar pemerintah harus dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri.
Selain itu dibutuhkan kolaborasi aktif antara Kementerian dan Lembaga terkait serta melibatkan pelaku industri dan UMKM agar dapat menciptakan stabilitas harga kedelai.
“Melonjaknya harga kedelai juga dapat meresahkan pedagang kecil. Karena nanti penjual gorengan tidak dapat menjual tahu dan tempe goreng, sehingga pendapatan mereka pun bisa berkurang.” pungkas Anggota Komisi VI DPR RI itu.