Kebiri kimia, menurut Komnas Perempuan, hanya bersifat anti-libido, sementara penaklukan, kontrol, balas dendam dapat dilakukan dengan penetrasi non penis.
Ketiga, masalah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan penanganan yang komprehensif, tidak sebatas aspek penghukuman, melainkan juga melibatkan pendidikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi, pelayanan sosial yang inklusif dan efektif termasuk untuk kelompok rentan.
Komnas Perempuan juga mengingatkan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan.
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, pemidanaan terhadap pelaku yang memuat pembatasan atau pengurangan hak dinilai dapat dilakukan tetapi perlu dirumuskan dengan uji cermat tuntas terhadap terpenuhinya asas legalitas, kebutuhan, ketercukupan dan proporsionalitas.
Di dalam Konstitusi, UUD NRI 1945, pembatasan hak tersebut diatur di dalam Pasal 28 J Ayat 2.
Pembatasan tersebut juga dikenali dalam pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diadopsi dalam hukum nasional melalui UU
No. 12 tahun 2005.
Komnas Perempuan mencatat kajian di berbagai negara yang juga menerapkan hukuman maupun program pengobatan kebiri kimia menunjukkan bahwa jenis obat yang digunakan dalam proses kebiri kimia dapat menimbulkan efek samping tertentu.
Efek samping tersebut di antaranya depresi, otot melemah, osteoporosis dan gangguan metabolisme lemak yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner.
Dampak kebiri kimia dinili dapat bersifat permanen pada sejumlah orang meskipun sebagian besarnya bersifat temporer selama tindakan itu berlangsung.
Efek samping tersebut dinilai mengurangi hak atas kesehatan secara langsung dan dapat memicu berkurangnya hak yang lain misalnya hak atas penghidupan akibat kondisi kesehatan yang terganggu.
Komnas Perempuan juga menilai pidana kebiri kimia menjadi langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusional untuk pemenuhan HAM, terutama hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Hal tersebut menurut Komnas Perempuan juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Selain itu juga diatur dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Karena dinilai berpotensi mendistraksi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, langkah kebijakan tersebut menurut Komnas Perempuan dapat mengurangi pemenuhan hak konstitusional atas perlindungan hukum dan rasa aman pada warga, khususnya perempuan dan anak, serta hak atas kehidupan yang bermartabat pada korban.