TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta Finari Manan pada Senin (18/1/2021) kemarin.
Finari diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih bening lobster atau benur untuk tersangka eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Lewat pemeriksaan Finari, KPK mengonfirmasi seberapa jauh perkembangan tim penyidik Bea Cukai Soekarno-Hatta menelusuri 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam penyelundupan ekspor benur.
"Finari Manan didalami pengetahuannya terkait dengan kegiatan penyidikan oleh tim penyidik Bea Cukai Soetta bagi 14 perusahaan yang diduga terlibat penyelundupan benih benur lobster pada kurun waktu 15 September 2020," ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Selasa (19/1/2021).
Selain menyelisik dugaan penyelundupan benih lobster, tim penyidik KPK juga mendalami dugaan adanya impor ikan salem yang dilakukan perusahaan milik tersangka Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP).
Tim penyidik komisi antikorupsi mendalami hal tersebut lewat saksi bernama Yunus.
"Yunus (karyawan swasta) didalami keterangannya terkait dengan pengurusan impor ikan salem oleh PT DPP," sebut Ali.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor, satu di antaranya perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.