TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini meyakini Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan sikap progresif dan moderat terkait keberadaan ambang batas selisih suara dalam penanganan perselisihan hasil pilkada.
Titi menyakini MK tidak akan terjebak pada sekedar masalah angka perolehan suara.
"Saya menyakini MK tidak menjadikan ambang batas sebagai persyaratan legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada," kata Titi saat dihubungi, Kamis (3/2/2021).
Titi menilai MK telah berupaya mewujudkan keadilan substantif melalui Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 dan PMK Nomor 7 dan 8 Tahun 2020 yang tetap memberi kesempatan pada pemohon untuk menyampaikan dalil-dalinya terlebih dahulu.
Baca juga: Ketua Fraksi PKS DPR Dukung Normalisasi Jadwal Pilkada Pada 2022 dan 2023
Dia juga yakin MK mempertimbangkan bagaimana proses penanganan pelanggaran dilakukan dalam penyelenggaraan Pilkada berkaitan dengan upaya mendapatkan hasil pemilu yang sepenuhnya jujur, adil, demokratis, dan konstitusional.
"Saya apresiasi langkah MK tersebut dan berharap dalam persidangan MK terus menggali agar penyelesaian perselisihan hasil pilkada benar-benar bisa memberikan keputusan yang bukan sekadar menghitung angka-angka namun juga memastikan mereka yang menjadi calon terpilih adalah paslon yang memenangi pilkada dengan cara-cara yang jujur, adil, demokratis, dan konstitusional," kata Titi.
Saat ini MK telah menerima 132 pengajuan permohonan perselisihan hasil Pilkada Serentak.
MK diharapkan dapat mengurai 132 perkara yang teregister dan memutus secara adil.
Sejumlah calon dari pemilihan kepala daerah berharap MK melihat pokok persoalan perselisihan pada hal hal yang subtantif.
Salah satunya yakni Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Banjarmasin Ananda-Mushaffa Zakir yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi pasangan petahana Ibnu Sina-Arifin Noor dan membatalkan hasil rekapitulasi KPU Kota Banjarmasin 2020.
“Dalam Pilkada Banjarmasin 2020 terjadi dugaan politik uang terstruktur, sistematis dan massif, diduga dilakukan Petahana. Kami telah melaporkan ke Bawaslu Kota Banjarmasin dan itu terbukti,” ujar Sulaiman Sembiring, pengacara Ananda-Mushaffa Zakir dari Kantor Widjojanto, Sonhadji and Associates pada Minggu (31/01/2021).
Sulaiman menyayangkan hasil keputusan Bawaslu yang membuktikan adanya politik uang tidak menjadi dasar bagi lembaga penyelenggara pemilu mendiskualifikasi pasangan Ibnu Sina-Arifin Noor.
Ia menduga Bawaslu Kota Banjarmasin melakukan tindakan unprofessional conduct karena menyatakan ada fakta pidana politik uang yang dilakukan Ibnu Sina-Arifin karena terbukti melanggar Pasal 187A UU Pilkada tapi justru menghentikan laporan ini dan tidak menjadikannya sebagai temuan agar dapat ditindakanjuti.
Bawaslu hanya menjerat Dua orang ASN yang terbukti melakukan politik uang. Keduanya yaitu Lurah dan Kepala Sekolah Dasar Negeri yang diduga Tim inti Pemenangan Bayangan Ibnu Sina-Arifin Noor.
“Bawaslu melepaskan Ibnu Sina sebagai pihak yang diduga sangat berkepentingan dalam money politik yang dilakukan kedua ASN itu. Kami mempertanyakan sikap Bawaslu tersebut, dan berharap MK melihat ini sebagai bentuk pelanggaran UU Pilkada,” tambah Sulaiman.
Sulaiman menyakini keputusan Bawaslu adanya politik uang telah telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran undang-undang Pilkada sehingga seharusnya Bawaslu Kota Banjarmasin langsung mendiskualifikasi pasangan Ibnu Sina-Arifin Noor saat itu juga.
“Kami meyakini Majelis Hakim MK merupakan orang-orang terpilih dan sangat professional dan melihat berbagai fakta-fakta pelanggaran Pilkada Banjarmasin dari hal yang substantif seperti politik uang, dugaan ketidaknetralan penyelenggara Pilkada seperti Bawaslu yang diduga menyebabkan suara pihak paslon no 02 membengkak drastis,” tutup Sulaiman.
Anggota Bawaslu Munawar Khalil mengatakan telah melaksanakan rapat pembahasan dengan sentral Gakumdu kemudian melakukan kajian terhadap laporan dari pemohon.
“Kesimpulannya tidak memenuhi unsur dugaan pelanggaran administriatsi dan tindak pidana pemilihan,” ujar Munawar Khalil pada persidangan MK beberapa waktu lalu.