TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada era disrupsi digital yang diperparah oleh pandemi Covid-19 saat ini perusahaan pers tidak bisa lagi bertumpu hanya pada dua pilar, yaitu iklan dan sirkulasi.
Diversifikasi pendapatan diperlukan untuk menopang jurnalisme, termasuk bersinergi dan berkolaborasi dengan pesaing-pesaing dalam ekosistem digital.
Selain iklan dan sirkulasi, ada banyak pilar yang dapat menopang jurnalisme, antara lain langganan (digital), perdagangan elektronik (e-commerce), acara (event), dan sindikasi konten.
Penggabungan berbagai usaha ini tidak hanya akan menghidupi perusahaan pers, tetapi juga mengembangkan jurnalisme dan berita atau konten menjadi modal dalam penggabungan ini.
Baca juga: Di Hari Pers Nasional 2021, Dahlan Dahi Bicara soal Relevansi Media dari Masa ke Masa
”Jangan merasa aman dengan digital karena digital juga mendisrupsi media online (daring),” kata Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto dalam webinar dalam rangka Hari Pers Nasional 2021 yang bertema ”Jurnalisme Berkualitas: Menguatkan Keberlanjutan Profesi Wartawan dan Penerbitan Pers Guna Menyehatkan Demokrasi di Tengah Gempuran Disrupsi Digital”, Minggu (7/2/2021).
Agung mencontohkan sejumlah media daring yang menjadi pelopor dalam transformasi digital beberapa tahun lalu kini tak lagi bertahan. Transformasi digital merupakan keharusan, tetapi apa pun medianya tidak bisa berjalan sendiri menghadapi disrupsi teknologi ini. Perusahaan pers harus bersinergi dan berkolaborasi, termasuk dengan sesama perusahaan pers, platform digital global, ataupun media sosial.
”Ketika media bisa memainkan pilar-pilar media sosial, ini peluang luar biasa. Survei menyatakan bahwa masa depan media pada langganan (digital), tetapi ini tidak cukup, harus dikembangkan ke model-model bisnis lain, baik melalui media sosial, event, marketplace. Majalah Vogue bisa berkembang di masa pandemi ini salah satunya melalui event,” kata Agung.
Baca juga: Sejarah Hari Pers Nasional 9 Februari, Berikut Tema Perayaan HPN Tahun 2021
Eriyanto, pakar media dari Universitas Indonesia, mengatakan, migrasi media di era teknologi digital tidak hanya perubahan dari media konvensional ke media digital, tetapi juga perubahan lanskap. Migrasi ke digital berarti model bisnis berbeda, segmen atau konsumen berbeda, saluran dan juga hubungan dengan pelanggan berbeda, demikian pula sumber dayanya, termasuk jurnalisnya.
”Perubahan media digital memang perubahan yang sangat besar karena dunia digital ini perpaduan dari aspek telekomunikasi, media, teknologi informasi, dan e-commerce. Media yang bisa bertahan (di era disrupsi digital) bukan hanya yang bisa membuat konten baik, melainkan juga model bisnis yang tepat,” katanya. Dan, semua itu, menurut Eriyanto, memberikan peluang media untuk berkembang, asalkan mau melakukan inovasi.
Baca juga: HPN 2021, Ketua Dewan Pers Bicara soal Vaksinasi untuk Para Jurnalis
Relevansi konten
Dari sisi konten, menurut Dahlan Dahi, CEO Tribun Network, perusahaan pers harus memperhatikan relevansi konten yang diproduksinya dengan audiens atau pembaca agar dapat bertahan.
Saat ini, misalnya, 55 persen pembaca media digital berusia 18-25 tahun, yang berbeda dengan beberapa tahun lalu ketika sebagian besar pembaca berusia lebih senior.
”Perjuangan saat ini (di era digital) untuk relevan. Jangan-jangan persoalan kita bukan persoalan cetak atau digital, tetapi persoalan relevansi. Platform bisa berubah, tetapi kita harus tetap relevan (memenuhi kebutuhan pembaca),” katanya.
Sementara untuk distribusi konten, kata Dahlan, banyak media daring masih bergantung pada platform digital global, seperti Google, dan diakui ini menciptakan eksosistem yang tidak seimbang. Perusahaan pers sebagai produsen konten tidak bisa berbuat banyak. Bahkan, jika seluruh perusahaan pers menutup akses ke Google pun hanya menguasai 30 persen konten, selebihnya banyak pembuat konten di luar perusahaan pers.