Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro merekomendasikan agar Pemilu dan Pilkada tidak dilakukan berbarengan pada 2024 atau istilahnya Pemilu borongan.
Ia mengusulkan agar Pemilu Presiden didahulukan sebelum pemilu legislatif dengan presidensial treshold (PT) 0 persen.
"Atau kalaupun diterapkan, PT itu kecil saja, di mana Pasangan calon diajukan oleh partai-partai politik yang ada di DPR, yang sudah lolos itu punya kewenangan untuk mengajukan calon," kata dia dalam diskusi yang digelar LHKP, Minggu, (7/2/2021)
Ia mengusulkan agar Pilkada serentak tetap digelar pada 2022 yang digelar di 101 daerah. Selain itu Pilkada serentak 2023 yang digelar di 171 daerah dimajukan di 2022.
"Sehingga jumlahnya menjadi 271 daerah untuk Pilkada 2022. Pilkada serentak kemarin kita 270, sekarang 271," katanya.
Alasannya menurut Siti, karena 2023 merupakan waktu untuk persiapan Pilpres dan Pemilu Legislatif 2024. Para stakeholder menurut Siti fokus pada Persiapan Pemilu 2024.
Baca juga: Peneliti LIPI: Pemilu Diselenggarakan Borongan di 2024 Itu Nggak Realistis
"Argumentasi saya itu bahwa karena di 2024 itu kita memerlukan jeda menjelang Pilpres dan Pileg 2024, agar semua tahapan, proses tahapan itu lebih rapi ya," katanya.
Selain itu dengan disatukannya Pilkada ke 2022 maka partai politik memiliki waktu untuk melakukan kaderisasi. Partai Politik tidak hanya memikirkan manuver atau taktik agar memenangkan Pemilu atau Pilkada.
Baca juga: Bertemu Prabowo, Anies Diduga Lobi Gerindra untuk Dukungan di Pilkada DKI
"Menurut saya ajarilah masyarakat Indonesia ini berpikir rasional, berpikir logis gitu ya, berpikir kritis karena itu yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sangat terhormat," pungkasnya.
Sebelumnya Siti Zuhro menilai bahwa Pemilu dan Pilkada Serentak tidak perlu disatukan pada tahun 2024 atau istilahnya Pemilu borongan. Menurut dia, menyatukan Pilkada dengan Pileg dan Pilpres sangat besar biayanya.
"Yang lalu sudah borongan 5 kotak (suara), jangan ditambah lagi dengan dua kotak. 5 kotak saja sudah luar biasa ampun-ampun, kita sudah membuktikan bahwa terlalu berat, terlalu besar costnya, terlalu mahal biaya yang harus kita tanggung, baik itu biaya yang bersifat mental maupun biaya fisik, biaya dampak dampak terhadap bangsa dan masyarakat," kata Siti.
Ia mengatakan menyatukan Pemilu dan Pilkada sangat tidak realistis. Selain itu menyatukan pemilu dan Pilkada tampak hanya untuk sekedar uji coba saja.
"Uji coba yang tak mempertimbangkan dampak dampak negatif," kata dia.
Selain itu menurutnya menyatukan Pemilu dan Pilkada juga bertentangan dengan mindset dan culturset new normal yang didengungkan Presiden Jokowi. Mindset tersebut yakni, bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi tidak menentu.
"Kita memasuki era disrupsi yang real, yang disitu kita dihadapkan pada satu realitas atau kenyataan, ketidakpastian yang sangat menyeruak," katanya.
Seharusnya kata dia, Mindset dalam menyelenggarakan pesta demokrasi harus berubah. Menurutnya tidak bisa mindset pesta demokrasi hanya politik praktis yang berdurasi pendek seperti selama ini terjadi.
Desain Pemilu dan Pilkada seharusnya rasional, berkualitas dan berdampak positif terhadap pemerintahan.
"Jangan sampai ada bad governace, pemerintah yang buruk sehingga menimbulkan tadi itu yang saya sebutkan, seperti divide governance. Jadi kita tidak mau, terpuruk. Kita ini sedang berkompetisi, berkontestasi dengan negara-negara ASEAN dan lebih luas lagi ke Asia Pasifik," pungkasnya.