Terkait kebutuhan air, Basuki mengidentifikasi tiga permasalahan dalam penyediaan air di Indonesia.
Pertama adalah terkait air bersih dan air baku. Menurutnya, air baku secara prinsip hidrologis pada umumnya berjumlah tetap.
Sehingga, kekurangan atau kelebihan air dinilai sebagai adanya kesalahan dalam manajemen.
"Allah memberikan air dalam jumlah yang cukup. Jadi kalau ada yang kekeringan atau kebanjiran pasti manajemen airnya yang tidak baik," ujar Basuki.
Di sisi lain, kualitas air pun pada dasarnya diturunkan secara baik.
Sehingga, kalau ada kualitas air yang jelek maupun tidak benar, maka manajemen air tersebut perlu diperbaiki.
"Tentang air baku, kalau lihat waduk-waduk pasti lihat warnanya cokelat, pasti di atas ada hal-hal di hulu yang dirusak atau diubah," kata Basuki.
Persoalan kedua, kata Basuki adalah unaccounted for water atau non revenue water yang menurutnya masih tinggi.
Ia mengatakan upaya memperbaiki persoalan itu masih kurang agresif lantaran membutuhkan biaya besar.
"Misalnya dulu di PDAM jumlah pipanya 100 tapi jadi kuitansi bayar 60. Ngitungnya tinggal berapa produksi air dan berapa yang bisa ditarik kuitansinya. Itu unaccounted-for-waternya 40 persen. Itu bisa bocor secara teknis atau administrasi karena ada perusahaan dalam perusahaan," kata Basuki.
Persoalan ketiga adalah perkara tarif. Basuki berujar air bukan komoditas ekonomi penuh melainkan juga memiliki nilai sosial.
Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa dalam membawa air ke rumah, proses membersihkan air pun membutuhkan biaya.
"Itu perlu dihitung. Sehingga nantinya biaya dibutuhkan tidak melulu dari APBN tapi ada kerja sama dengan badan usaha," kata Menteri PUPR tersebut.
Sementara itu Pimpinan Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali mengatakan, kebutuhan air bersih menjadi tantangan di tengah pandemi Covid-19.