Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerja sama mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukan langsung.
Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia, pembiayaan kerjasama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso kemudian memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra atau keagenan.
Irzal pun menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra atau agen.
Selanjutnya, mulai Juni 2008 sampai dengan 2018, dibuat kontrak kemitraan atau agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
"Atas kontrak kerja sama tersebut, seluruh mitra tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama,” ujar Firli.
Selanjutnya, pada 2011, PT DI baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 sampai dengan 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia kepada 6 perusahaan mitra/agen tersebut sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
“Bahwa setelah keenam perusahaan mitra/agen tersebut menerima pembayaran dari PT Dirgantara Indonesia (Persero), terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekitar Rp96 miliar yang kemudian diterima oleh pejabat di PT Dirgantara Indonesia (Persero) di antaranya Budi Santoso, Irzal, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh,” kata Firli.
Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.