"Dan tidak memberikan izin untuk memperdagangkannya, serta menindak secara tegas pihak yang melanggar aturan tersebut," tutur Asrorun.
2. Anggota DPD Papua Barat, Filep Wamafma
Anggota DPD RI dapil Papua Barat, Filep Wamafma menguraikan sikap penolakannya terhadap Perpres Investasi Minuman Keras.
"Jika kita kaitkan dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus), secara hukum, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan UU Otsus terutama daerah Papua/Papua Barat sebagai wilayah khusus."
"Jangankan UU Otsus, UU Pemerintahan Daerah pun menjadi tidak berkutik di hadapan UU Cipta Kerja."
"Sekarang Perpres legalisasi miras turunan Cipta Kerja salah satu contohnya," kata Filep.
"UU Cipta Kerja menciptakan peluang yang sangat luas bagi masuknya investasi, namun memangkas sifat desentralisasi otonomi daerah, dan tidak memperhitungkan wilayah dengan Otonomi Khusus seperti Papua/Papua Barat," tambahnya lagi.
Padahal menurutnya, data menunjukkan, miras menyumbang kematian di Papua.
Tak hanya di Papua, 75% angka kriminalitas di Merauke disebabkan miras, 75% juga menyebabkan lakalantas.
Pada Juni 2019, Wakapolda Papua menyatakan, miras adalah penyebab kriminalitas di Papua.
Gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan bahwa setiap tahun ada kurang lebih 22% Orang Papua meninggal karena miras.
"Data-data tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa betapa banyak keburukan yang terjadi akibat minuman beralkohol," kata senator yang juga sebagai ketua STIH Manokwari.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Papua Tahun 2018, disebutkan bahwa tingkat kriminalitas tinggi terutama disebabkan oleh konsumsi miras.
Itu sebabnya mengapa Gubernur Papua mengeluarkan Perda Miras Momor 15 Tahun 2013 serta Instruksi Gubernur Papua No. 3/Instr-Gub/2016, yang mengatur mengenai pelarangan produksi, pengedaran serta penjualan minuman beralkohol. Sayangnya, PTUN menggugurkannya pada tahun 2017.
Dalam struktur hukum, ada beberapa Pasal terkait miras yang terdapat dalam KUHP, yaitu Pasal 300 ayat (1), Pasal 537 dan 538 KUHP