News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU ITE

Koalisi Masyarakat Sipil Sesalkan UU ITE Tak Masuk Prioritas Prolegnas 2021

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Buruh pelabuhan maritim Australia membawa poster sebagai bentuk dukungan kepada aktivis SP JICT Rio Wijaya di Australia, Kamis (28/11/2019). Dukungan dari dalam dan luar negeri mengalir untuk Rio yang ditahan akibat dianggap melanggar UU ITE. TRIBUNNEWS/HO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan tidak dimasukkannya revisi UU ITE dalam 33 RUU Prioritas Prolegnas 2021 yang diputuskan pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Selasa (9/3/2021) kemarin. 

Koalisi Masyarakat menegaskan tidak masuknya revisi UU ITE dalam Prolegnas Prioritas 2021 semakin menguatkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam merevisi UU ITE yang kerap menimbulkan kontroversi dalam penerapannya tersebut.

"Koalisi menyesalkan tidak dimasukkannya UU ITE dalam prioritas tahun 2021, sekalipun sudah menduga memang pemerintah dan DPR tidak cukup serius ingin melakukan revisi UU ITE," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam keterangan pers bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Rabu (10/3/2021).

Baca juga: Pendapat Pendiri Drone Emprit Ismal Fahmi tentang Rencana Revisi UU ITE

Meski demikian, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIP, dan WALHI meminta masyarakat tidak surut mendorong revisi total UU ITE. 

Ditegaskan, revisi UU ITE merupakan prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia. 

"Serta menegakkan keadilan," tegas Erasmus.

Pada Selasa (9/3/2021) kemarin, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil memenuhi undangan Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dipimpin Sigit Purnomo selaku Kedeputian III Polhukam. 

Kepada Tim Kajian Kemko Polhukam, Koalisi Masyarakat Sipil mendorong revisi total UU ITE.

Erasmus memaparkan pokok permasalahan pasal demi pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multi-tafsir. 

Ditegaskan, persoalan utama UU ITE terletak pada perumusan delik-deliknya, khususnya terkait delik tindak pidana konvensional yang ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime), seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapi 12 tahun yg diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE. 

"Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama. Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE," katanya.

Pendapat ICJR diperkuat lagi oleh Wahyudi Djafar selaku Direktur Eksekutif ELSAM dengan menegaskan bahwa persoalan-persoalan UU ITE tidak terbatas pada persoalan pidana saja, tetapi juga sejumlah pasal yang tidak sesuai dengan prinsip pengaturan internet dan perkembangan peran perusahaan teknologi. 

Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet secara tegas menyatakan pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE dan bahkan ketidakadilan dan ketidakpastian masih terjadi sampai hari ini. 

Dituturkan Damar, pihaknya baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga. 

"UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar," papar Damar.

Damar meminta pemerintah tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja, tetapi betul-betul merevisi total 9 pasal bermasalah. 

"Agar UU ITE menjadi Undang-undang yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan," katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta agar kasus-kasus yang menunjukkan ketidakadilan dalam penerapan UU ITE untuk dihentikan terlebih dahulu dengan menerbitkan SP3 di tingkat kepolisian dan SKP2 di tingkat kejaksaan.

“Selama menunggu kajian dan kepastian revisi UU ITE, segenap jajaran Kemkopolhukam dapat menimbang tiga usulan. Pertama, dengan alasan kemanusiaan, mengusulkan ke Presiden untuk pemberian amnesti atau pembebasan tanpa syarat mereka yang dipenjara karena UU ITE dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap," kata Usman Hamid.

"Kedua, merekomendasikan ke Kapolri untuk penerbitan SP3 oleh kepolisian untuk kasus-kasus tertentu ITE dan berdasarkan telaah bersama lembaga negara yang independen dan masyarakat sipil. Ketiga, merekomendasikan ke Jaksa Agung untuk penerbitan SKP2 oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum,” imbuhnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini