Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan hukuman mati bukan solusi untuk menekan angka korupsi.
Penerapan hukuman mati untuk koruptor, menurutnya, tidak serta merta dapat mengurangi tingkat korupsi di suatu negara.
Baca juga: Komnas HAM Nilai Hukuman Mati Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi
"Jadi mungkin bukan hukuman mati jalan keluarnya," ujar Adnan dalam webinar Hukuman Mati untuk Koruptor, Apakah Tepat?, Jumat (12/3/2021).
Adnan menyontohkan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Tiongkok.
Meski telah menerapkan hukuman tersebut, Tiongkok hanya memiliki Corruption Perception Index (CPI) Tiongkok sebesar 42 pada 2020.
Baca juga: KPK: Hukuman Mati kepada Koruptor Bisa Diterapkan
Padahal negara yang tingkat korupsinya rendah memiliki CPI di atas 70.
"Apa Tiongkok dianggap bersih? Dengan skor 42, ya enggak juga. Sudah banyak kajian juga yang menjelaskan bahwa hukuman mati di Tiongkok memiliki banyak komplikasi," kata Adnan.
Saat ini angka tertinggi yaitu Denmark dengan raihan 88, New Zealand 87, Finlandia 85, Singapura 85, Swedia 85, dan Swiss 85.
Baca juga: Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor, Anggota Komisi III: Tidak Keberatan
"Lalu negara yang terbersih yang mana? Ini semua negara kecil, hampir semua di Skandinavia, kecuali tetangga kita, Singapura dan Selandia Baru," kata Adnan.
"Pertanyaannya apakah mereka menjalankan hukuman mati enggak untuk kasus korupsi? Jawabannya tidak. Kenapa mereka bisa berhasil, berarti ada yang salah dengan treatment kita dalam menangani korupsi dan bukan hukuman mati jawabannya," tambah Adnan.
Sementara negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, adalah Korea Utara, Iran, Irak, Tiongkok, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Maroko dan Indonesia.
Korea Utara yang ikut menerapkan hukuman mati memiliki CPI yang sangat rendah sebesar 14.
Somalia menjadi negara dengan skor CPI paling rendah yakni 10, kemudian Suriah 13, Sudan Selatan 13, dan Yaman dengan 14.