TRIBUNNEWS.COM - Isu akan adanya perpanjangan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode kembali berhembus.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui telah menampik isu tersebut.
Jokowi telah mengungkapkan tidak memiliki niat dan minat untuk menjabat Presiden Republik Indonesia dalam tuga periode.
Lantas, apakah mungkin jabatan presiden berubah menjadi tiga periode?
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengungkapkan bergulirnya wacana perpanjangan periode masa jabatan presiden sesungguhnya bukan hal baru.
Baca juga: Arief Poyuono Ngotot Meminta Agar Jokowi Bersedia Jadi Presiden 3 Periode
Pangi mengungkapkan, wacana ini dihembuskan berbarengan dengan usulan amandemen ke-lima UUD 1945, yang selama ini belum berhasil.
"Wacana amandemen kelima sebenarnya sudah lama didorong oleh banyak kalangan, alasannya mengingat banyak sektor yang memerlukan perbaikan mendasar yang hanya bisa ditempuh lewat jalur amandemen UUD 1945."
"Namun sayangnya usulan-usulan tersebut belum digagas dengan serius dan kerja politik yang nyata," ungkap Pangi kepada Tribunnews.com, Selasa (16/3/2021), melalui keterangan tertulis.
Pangi menilai, amandemen belum menjadi agenda mendesak dan kebutuhan rakyat, belum komprehensif, dan hanya baru masuk isu elite dan kepentingan kekuasaan semata.
"Begitu juga halnya dengan masa jabatan presiden, agenda ini kemudian disisipkan dan bergulir menjadi wacana publik yang menuai pro dan kontra."
"Jika kita berkaca pada pelbagai usulan terkait amandemen yang belum disepakati agendanya apa saja, maka tidak mustahil perubahan masa jabatan presiden akan menjadi agenda sisipan yang justru akan menjadi target utama kelompok tertentu, pasal selundupan yang didesain para cukong, oligarki dan pemilik modal," ungkap Pangi.
Baca juga: Jokowi Tolak Presiden Menjabat 3 Periode, Mantan Jenderal Ini Pernah Usul Presiden Menjabat 8 Tahun
Mengenai perlukah amandemen dilakukan, Pangi menyebut perlu mengingat kembali agar jangan sampai lembaga negara dan haluan negara terjebak membahas kepentingan orang per orang yang ingin melanggengkan kekuasaannya.
"Kalau seandainya nanti pada akhirnya tetap dipaksakan melakukan amandemen kelima, wacana penambahan masa jabatan presiden sangat tidak layak masuk dalam agenda amandemen UUD 1945, selain agenda ini tidak penting dan substansial, usulan ini mempertontonkan kebodohan dan ambisi politik kotor yang dulu pernah menyeret kita kepada jurang otoritarianisme," kata Pangi.
Usulan penambahan periode jabatan presiden, lanjut Pangi, sangat tidak layak dan bertentangan dengan tujuan reformasi yang menginginkan adanya pembatasan masa jabatan presiden.
"Bahkan hingga isu ini kembali bergulir, kita tidak pernah mendengar alasan substantif dan rasional mengapa masa jabatan presiden harus ditambah atau diperpanjang," ujarnya.
Pangi menyebut, butuh alasan yang lebih masuk akal, bukan menggiring perdebatan dan wacana politik ke dalam dukung-mendukung layaknya oposisi versus pemerintah.
"Namun sepertinya publik juga harus menaruh curiga, agenda penambahan masa jabatan presiden ini sesungguhnya dipersiapkan dengan serius dan matang meskipun tidak punya basis argumen yang kuat," ujarnya.
Baca juga: Jokowi dan Mahfud MD Jawab Tudingan Amien Rais soal Wacana Presiden 3 Periode
Hormati Statemen Jokowi
Lebih lanjut, Pangi menyebut menaruh hormat terhadap pernyataan Jokowi yang menyebut tak berniat dan berminat adanya perubahan masa jabatan presiden.
"Saya menaruh hormat sama presiden yang statmen dan komentar serta hak jawabnya tetap konsisten dan tak berubah sampai hari ini,"
"Ini sudah menjadi rekam jejak digital, jangan sampai seperti peristiwa masa lalu, tawaran datang menjadi capres, awalnya nggak tertarik, belum terpikirkan, belum berminat, tiba-tiba real menjadi calon presiden," ungkapnya.
Namun, Pangi menyebut, publik patut menaruh curiga adanya agenda perubahan periode jabatan presiden.
"Kecurigaan ini bisa kita baca dari beberapa langkah politik pemerintah yang mengarah pada akumulasi kekuatan politik yang absolut dengan menggalang dan membangun koalisi gemuk dan mematikan oposisi."
"Penguasaan terhadap media massa dan new-media (medsos dan lainnya), pembentukan wacana publik dan pengiringan opini publik."
"Cek ombak sudah dimulai, untuk in zoom respon pendapat publik melihat takaran level pro dan kontra di tengah masyarakat terhadap wacana tersebut," ungkap Pangi.
Baca juga: Moeldoko Terlibat Kisruh Demokrat, Gatot Nurmantyo: Tak Mencerminkan Moral dan Kehormatan Prajurit
Pangi menilai, jika merujuk pada semua langkah yang telah dilakukan, amandemen UUD 1945 sangat mungkin dan mudah untuk dilakukan.
"Bagaimana tidak, parlemen sudah dikuasai, opisisi antara ada dan tiada, wacana sudah dipersiapkan untuk menggiring opini publik dengan penguasaan media. Presiden 3 periode, MPR tinggal ketok palu," ungkapnya.
Meskipun Jokowi sudah menolak dan membantah, Pangi menyebut jika itu bukan variabel utama dan penting.
"Toh, jika konstitusi sudah dirubah dan dengan ungkapan yang sama peristiwa penguasa sebelumnya 'ini atas kehendak rakyat' semua akan berubah, yang awalnya pura-pura malu pada akhirnya juga mau."
"Pertanyaan sederhana, terkait beberapa hari yang lalu, komentar presiden yang mengatakan 'konstitusi mengamanahkan 2 (dua) periode, itu harus kita jaga bersama sama', bagaimana jika tiba-tiba konstitusi dirubah?" pungkas Pangi.
Baca juga: KSP: Wacana Presiden Tiga Periode Sengaja Dihembuskan untuk Menjerumuskan Presiden
Pernyataan Jokowi
Sebelumnya diketahui Presiden Jokowi telah memberi keterangan pers mengenai isu perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik, ya sikap saya enggak berubah," ungkap Jokowi, Senin (15/3/2021), dilansir YouTube Sekretariat Kabinet.
Jokowi berpesan agar tidak membuat kegaduhan baru di tengah perjuangan penanganan pandemi Covid-19.
"Dan saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi Presiden tiga periode."
"Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama-sama," ungkap Jokowi.
Artikel lain mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi).
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)