Hendropriyono beralasan, mahalnya biaya pemilihan umum yang kian naik dari periode ke periode menjadi salah satu dasar dari usulannya tersebut.
Selain itu, kata Hendropriyono, penambahan jabatan presiden menjadi delapan tahun juga untuk menghindari konflik antarpendukung seperti yang terjadi pasca-Pilpres 2019.
Dalam usulnya tersebut, Hendropriyono juga meminta agar presiden yang sudah menjabat delapan tahun tidak dapat lagi mencalonkan diri kembali.
Hal itu agar presiden terpilih dapat fokus bejerja tanpa sibuk memikirkan jabatan untuk periode keduanya.
Usulan itu disampaikan Hendroproyono saat bertemu dengan Ketua DPR RI Bambanng Soesatyo di gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019).
"Saya usul dan nampaknya ketua DPR RI nampaknya cocok pikirannya, bahwa tenggang waktu presiden dan kepala daerah itu delapan tahun. Tapi satu kali saja, turun penggantinya nanti silahkan berkompetisi, tidak ada petahana," kata Hendropriyono.
"Jadi delapan tahun itu pemerintah kuat dan rakyat kuat, tidak ada yang menggergaji pemerintah. Pemerintah tidak sewenang-wenang, tidak berkampanye, kerja aja delapan tahun yang betul," tambahnya.
Mantan Ketua Umum PKPI ini juga mengungkapkan terkait sistem pemilihan presiden terpilih seperti apa.
Hendropriyono mengatakan, penentuan presiden dikembakikan lewat keputusan Majelis Permusyawaratan Rakayat (MPR).
Dengan kata lain, pemilihan presiden tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu.
"Nah kalau menurut saya kalau mau konsekuen pemilihan itu harus dikembalikan ke MPR. Kalau enggak, rakyatnya juga jadi rusak mentalnya," ucapnya.
Baca juga: Tolak Wacana Jabatan Presiden 3 Periode, HNW: Tidak Ada Agenda MPR untuk Itu
Terkait usulannya, Hendropriyono menyarankan agar ada addendum terhadap konstitusi.
Lebih lanjut, ia pun menyerahkan sepenuhnya usul tersebut kepada DPR apakah nantinya diterima atau tidak.
"Karena ini kerjaan MPR, MPR harus dikembalikan sebagai lembaga tinggi negara, dan DPR terbesar isi anggotanya dari MPR, makanya saya kesini. Saya bilang tolong itu konstitusi kan bisa diaddendum. Kalau tidak bisa diamandemen, diandendum saja. Kalau tenggat waktu kepala pemerintah dan kepala daerah itu delapan tahun sekali saja, jadi tidak begini," jelasnya.