Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menerima data yang diserahkan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan pihaknya akan mempelajari data-data tersebut.
"KPK sampaikan terima kasih atas peran serta masyarakat dalam mengawasi dan mengawal proses penyidikan perkara yang saat ini sedang kami lakukan," kata Ali dalam keterangannya, Minggu (21/3/2021).
Data yang dimaksud yakni terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Diketahui, KPK saat ini sedang menyidik kasus dugaan korupsi pembelian tanah di beberapa lokasi terkait program DP Nol Rupiah Pemprov DKI Jakarta.
Salah satunya adalah pembelian tanah seluas 41.921 meter persegi di kawasan Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, pada 2019 lalu oleh Perusahaan Umum Daerah Sarana Jaya.
Baca juga: Anies Pangkas 95 Persen Target Rumah DP 0 Rupiah, Pandemi Covid-19 Jadi Penyebabnya
Baca juga: Korupsi Pengadaan Tanah Munjul, KPK Cecar 6 Saksi Soal Kegiatan Usaha Sarana Jaya
Ali memastikan setiap proses penanganan kasus ini dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
KPK juga berjanji akan menyampaikan setiap perkembangan penanganan kasus ini.
"Kami tegaskan segala perkembangan dari penanganan perkara ini akan selalu kami infokan kepada masyarakat sebagai bentuk keterbukaan KPK," kata dia.
Diwartakan sebelumnya, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, salah satu data yang diserahkannya kepada KPK, yakni copy sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan di Munjul.
Lahan tersebut terdiri dari Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 97,98, dan 99 yang diterbitkan oleh Kantor BPN Jakarta Timur pada tanggal 31 Juli 2001 dengan masa berlaku hingga 31 Juli 2021 atas nama pemilik Yayasan Kongregasi Suster-Suster Carolus Borromeus dengan luas keseluruhan sekitar 4 hektare.
"Berdasar data tersebut terdapat hal-hal yang memperkuat terjadinya dugaan korupsi pembayaran pembelian lahan oleh PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan yang mengaku memiliki lahan tersebut," kata Boyamin dalam keterangannya, Sabtu (20/3/2021).
Kata Boyamin, lahan tersebut dimiliki oleh sebuah Yayasan sehingga tidak bisa dijual kepada sebuah perusahaan bisnis swasta.
Menurutnya, lahan Yayasan hanya boleh dialihkan kepada Yaysan lain untuk digunakan tujuan fungsi sosial, hal ini berdasar ketentuan Pasal 37 Ayat (1) huruf B Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Yayasan.
Seharusnya, lanjut Boyamin, PD Sarana Jaya mengetahui tidak bisa membeli lahan tersebut karena lahan dimiliki oleh sebuah Yayasan yang kemudian dijual kepada perusahaan swasta yang sejatinya dilarang oleh UU Yayasan.
"Sehingga dengan melakukan pembayaran kepada sebuah perusahaan swasta sekitar Rp200 miliar adalah sebuah bentuk pembayaran yang tidak diperolehnya sebuah lahan yang clear and clean serta berpotensi kerugian total lost atau uang hilang semua tanpa mendapat lahan," katanya.
Selain itu, kata Boyamin, HGB tersebut akan berakhir pada 2021 dan selama ini tidak pernah dilakukan pembangunan apapun sesuai izin HGB, sehingga berpotensi tidak dapat diperpanjang.
Baca juga: Melihat dari Dekat Lokasi Rumah DP 0 Rupiah di Munjul yang Sedang Diusut KPK
Baca juga: Soal Korupsi Lahan di Munjul, KPK Periksa Pegawai Sarana Jaya hingga Broker Calo Tanah
Dengan demikian, kata Boyamin, PD Sarana Jaya seharusnya menunggu perpanjangan HGB untuk melakukan pembayaran.
"Sehingga dengan pembayaran sebelum HGB diperpanjang adalah bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut," katanya.
Lebih jauh, Boyamin memaparkan, sebelum terbit HGB tahun 2001, lahan tersebut adalah berstatus Hak Pakai yang dimaknai lahan milik pemerintah.
Dengan demikian, ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan maka berpotensi HGB dicabut atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma.
"Bahwa dengan rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya patut diduga telah melanggar UU Yaysan sehingga HGB tersebut dapat dicabut oleh pemerintah karena tidak sesuai peruntukannya sehingga pembayaran PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan swasta patut diduga turut serta korupsi yang merugikan negara," paparnya.
Boyamin meminta KPK segera menindaklanjuti data yang disampaikannya.
Boyamin juga meminta KPK segera mengumumkan pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Berdasar hal-hal tersebut, kami meminta segera diumumkan tersangka dan dilakukan penahanan terhadap para tersangka dugaan korupsi pembayaran PD Sarana Jaya untuk rencana memperoleh lahan di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur," tegasnya.