Di PLTU Tanjung Jati B yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, limbah FABA diolah menjadi batako, paving dan beton pracetak.
”Hasil olahan dari limbah FABA itu kami manfaatkan untuk merenovasi rumah di sekitar PLTU Tanjung Jati B," kata Agung.
Kemudian di PLTU Asam Asam memanfaatkan FABA sebagai road base (lapisan jalan) dalam pembuatan akses jalan.
PLTU Suralaya memanfaatkan FABA sebagai bahan baku batako dan bahan baku di industri semen. Sementara, PLTU Ombilin memanfaatkan FABA menjadi campuran pupuk silika.
Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Nurul Taufiqu Rochman setuju dengan pemerintah. Ia menilai limbah batubara dan sawit memang tidak berbahaya.
“Kita tahu bahwa memang tidak ada yang berbahaya. Tidak ada yang B3. Kenapa harus dimasukkan ke B3. Bagaimana mengambil kebijakan waktu itu. Saya sayangkan sekali," katanya.
Nurul menuturkan tidak ada negara yang mengkategorikan limbat batubara dan sawit sebagai B3.
Sebagai pakar dan pimpinan peneliti di bidang metalurgi, ia mengaku heran mengapa pembuat kebijakan terdahulu membuat kebijakan itu.
“Komposisinya sudah kami analiasa dan sebagainya tidak ada yang berbahaya,” ujarnya.
Justru, ia menyatkan limbah batu bara dan sawit menjadi bahaya ketika tidak digunakan atau ditumpuk dalam jumlah banyak.
Padahal, Nurul mengatakan, limbah itu bisa digunakan untuk berbagai produk, seperti batako hingga bahan jalan.
“Kerugian besar jika limbah itu tidak digunakan,” ujar Nurul.
Sebelumnya, FABA dikategorikan menjadi Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan hasil uji laboratorium independen atas Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sampelnya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan.