TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra tegas menolak dan keberatan atas seluruh dalil Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan suap pengurusan penghapusan red notice dan pemufakatan jahat.
Menurutnya, apa yang disampaikan JPU dalam repliknya sangat tidak beralasan hukum.
Hal ini disampaikan kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo saat membaca surat duplik atas replik JPU, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/3/2021).
"Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra dan Penasihat Hukum, secara tegas menolak dan keberatan terhadap seluruh dalil Penuntut Umum, sebagaimana tertuang kembali di dalam Replik atau Tanggapan Penuntut Umum," kata Soesilo.
Djoko Tjandra dan tim penasihat hukum tetap bersikukuh dengan seluruh dalil dan permohonan dalam nota pembelaan atau pleidoi yang telah disampaikan pada persidangan tanggal 15 Maret 2021 kemarin.
Terkait pemufakatan pengurusan Fatwa Mahkamah Agung (MA), Soesilo menyatakan terlepas dari ada tidaknya kesepakatan itu, peristiwa tersebut terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia yang notabene bukan wilayah NKRI.
Ditambah lagi, saat itu Djoko Tjandra masih berstatus warga negara Papua New Guinea.
JPU juga dinilai sudah gagal membuktikan apakah terjadi pemberian uang 500 ribu dolar AS telah diterima Andi Irfan Jaya dan selanjutnya dibagi dan diserahkan ke Pinangki Sirna Malasari.
Sebab pihak yang diminta Djoko Tjandra menyerahkan uang itu, yakni Herrijadi Anggakusuma telah meninggal dunia.
"Jadi, Penuntut Umum telah gagal membuktikan bahwa Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra telah memberikan uang kepada Saksi Pinangki Sirna Malasari," kata Soesilo.
Baca juga: Tuntut 4 Tahun Penjara, Jaksa Minta Hakim Tolak Pleidoi Djoko Tjandra
Dalam sidang agenda pembacaan replik sebelumnya, jaksa membantah perkara pertama atas pengurusan fatwa MA yang disebut oleh terdakwa Djoko, sebagai korban penipuan yang dilakukan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan rekannya Andi Irfan Jaya.
Menurut jaksa, berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi-saksi dalam persidangan terungkap kalau pertemuan antara Djoko dengan Pinangki dan Andi dilakukan dalam rangka meminta pengurusan fatwa MA agar yang bersangkutan bebas dari jerat pidana dalam kasus hak tagih atau cassie Bank Bali.
"Terlihat jelas kesamaan kehendak yang kemudian menjadi kesepakatan antara terdakwa dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan jaya. Bahkan terdakwa juga meminta untuk dibuatkan proposal agar terdakwa Djoko Tjandra mengetahui langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan dalam rangka meminta fatwa MA," kata jaksa.
Baca juga: Djoko Tjandra Siap Dihukum Jika Terbukti Korupsi
Terlebih, jaksa menyakini adanya biaya yang disetorkan oleh Djoko untuk pengurusan fatwa MA, dengan langkah awal sebuah action plan sebagaimana permintaan Djoko bukanlah korban penipuan.
"Diwujudkan dalam action plan dengan biaya awal 1 juta dolar AS dan terdakwa bersedia berikan DP 500 ribu dolar AS yang dibayarkan melalui Herriyadi Angga Kusuma (almarhum, selaku adik ipar Djoko Tjandra)," kata jaksa.
JPU Tuntut Djoko Tjandra 4 Tahun Bui
Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Selain itu, JPU juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.
Alasannya, karena Djoko Tjandra dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
Menurut jaksa, dalam persidangan terungkap fakta bahwa benar Djoko Tjandra memberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra ke Pinangki melalui perantara Andi Irfan Jaya –yang merupakan rekan Pinangki– dengan maksud sebagai biaya pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Penerbitan fatwa MA itu bertujuan supaya Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 yang menghukumnya 2 tahun penjara.
Selain itu, terungkap pula bahwa terjadi penyerahan uang kepada dua jenderal polisi guna pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar AS dan 370 ribu dolar AS, serta eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS.
Jaksa juga menyebut Djoko Tjandra terbukti terlibat pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA.
Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.