TRIBUNNEWS.COM - Kehadiran polisi virtual (virtual police) sempat menjadi pertanyaan bagi masyarakat.
Polisi virtual ini berfungsi untuk mengawasi masyarakat dalam bermedia sosial.
Padahal, diketahui pihak kepolisian sudah memiliki tim cyber, yang fungsinya hampir sama dengan polisi virtual.
Terkait hal itu, beberapa masyarakat masih belum tahu apa perbedaan antara keduanya.
Lantas apa perbedaan antara tim polisi cyber dengan polisi virtual ?
Baca juga: Pengamat: Inisiatif Pertamina Gandeng PLN di Blok Rokan Sudah Tepat
Baca juga: Kasus Minyak Pertamina Dicuri, Pengamat: Patut Diduga Keterlibatan Internal
Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah Badrus Zaman menjelaskan perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, polisi virtual akan lebih mengedepankan upaya preventif,
Sehingga, penegakan hukum dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akan menjadi jalan terakhir.
"Kalau polisi virtual, sistem yang dibangun untuk menempatkan proses hukum dari pelaksanaan UU ITE sebagai jalan terakhir," jelas Badrus di program Kacamata Hukum, Senin (22/3/2021).
Sementara, tim cyber sudah pasti melakukan penegakan hukum sesuai regulasi yang ada.
Baca juga: Pengamat: KPPU Perlu Dilibatkan dalam Pengalihan Frekuensi
Baca juga: Seorang Polisi Terduga Penembak Laskar FPI Tewas Kecelakaan
Tim akan mendeteksi seseorang yang diduga melanggar pasal-pasal UU ITE.
"Kalau tim cyber adalah fungsi proteksi dan deteksi adanya serangan atau pun hal-hal yang dicurigai mengandung unsur UU ITE," tambah Badrus.
Diketahui, beberapa pihak khawatir kehadiran polisi virtual ini dinilai bisa membuat masyarakat takut beropini melalui media sosial.
Menanggapi hal itu, sebagai pengamat hukum, Badrus menilai masyarakat memang harus takut.
Ia berharap dengan rasa takut, orang-orang bisa lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.
Baca juga: 105 Konten Sosial Media Kena Teguran Virtual Police Karena Berpotensi Langgar UU ITE
"Masyarakat memang harus takut. Kalau enggak takut, nanti akan lakukan seenaknya,"
"Dengan adanya takut, masyarakat jelas berhati-hati," ujarnya.
Avokat hukum Solo itu mengimbau masyarakat untuk tak perlu menghina seseorang lewat media sosial.
Apalagi jangan sampai mengaitkan dengan hal-hal bersifat pribadi, seperti SARA.
"Perbedaan di Indonesia itu wajar, masalah agama itu masing-masing orang," ucapnya.
Tanggapan Pengamat soal Pasal UU ITE yang Dinilai Multitafsir: Sudah Bagus, Tinggal Pelaksanaan
Banyak pihak menilai pasal-pasal dalam UU ITE mengandung makna ganda (multitafsir).
Diketahui, kini pemerintah sudah membentuk tim akjian untuk menilai pasal UU ITE apa saja yang perlu direvisi.
Terkait hal itu, pengamat hukum Badrus Zaman menganggap terkadang kepolisian memaksakan isi pasal UU ITE.
Menurutnya, terkadang polisi ada kemauan untuk melanjutkan kasus.
"Itu sebenarnya polisi ada kemauan untuk melanjutkan perkara itu," kata Badrus di program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (22/3/2021).
Baca juga: Pengamat Politik Nilai Antusiasme Masyarakat Indonesia pada Pilpres 2024 Mulai Terlihat
Baca juga: Pengamat Nilai Kisruh Partai Demokrat Dipicu Krisis Legitimasi Kepimpinan AHY
Sisi lain, Badrus menilai materi yang terkandung UU ITE sudah cukup bagus.
Hanya saja tinggal bagaimana pengaplikasian UU ITE itu.
"Undang-undang ini menurut saya sudah bagus, makanya tinggal bagaimana pelaksanaannya."
"Kalau pelaksanaannya bagus, juga enggak masalah," jelas Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah itu.
Lebih lanjut, Badrus menerangkan, UU ITE ini memang termasuk delik aduan.
Baca juga: Pengamat Sebut Konflik di Demokrat Harus Diselesaikan Berdasar Mekanisme Hukum
Yang artinya, sesorang bisa diproses secara hukum terkait tindak pidana UU ITE jika ada pihak yang melapor.
Meskipun begitu, polisi tetap saja memiliki kewenangan untuk menilai apakah ada unsur pidana UU ITE atau tidak.
"UU ITE memang delik aduan, tapi polisi bisa mendeteksi dengan tim cyber," jelasnya,
Kata Badrus, pengaduan masyarakat soal UU ITE nantinya belum tentu akan masuk pidana UU ITE.
Baca juga: Apa Itu Delik Aduan? Begini Penjelasan dari Pengamat Hukum
Berbeda dengan tim cyber yang sudah pasti menilai rambu-rambu UU itu.
"Kalau diadukan masyarakat, belum tentu masuk ke UU ITE, karena namanya pendapat orang lain-orang lain."
"Kalau cyber sudah dideteksi melanggar rambu-rambu, seperti meresahkan masyarakat, pencemaran nama baik," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Shella)