Menurutnya, hal itu didukung dengan kemudahan mengakses internet, banyaknya waktu luang, dan narasi dan konten radikal yang disebar dengan mudah dapat diakses oleh generasi muda.
"Generasi muda diposisikan sebagai juru selamat yang mampu mengubah keadaan salah satunya melalui aksi teror. Jadi dia ingin mengubah ini dengan pola yang radikal, pola yang pemaksaan kehendak, ingin mengikuti apa yang diyakininya sebagai tatanan yang dianggap paling benar dan yang lain salah," kata Wawan.
Kemudaham radikalisasi generasi muda melalui media sosial, kata Wawan, bisa menciptakan teroris baru.
Tingginya intensitas dan masifnya pesan radikal melalui media sosial, kata dia, mendorong pemikiran seseorang berubah menjadi ekstrem yang akhirnya menjelma pelaku teror yang melakukan tindak kekerasan.
"Selain itu media sosial juga memperluas jangkauan konten radikal karena penyebarannya yang cepat dan mudah," kata Wawan.
Untuk itu, kata Wawan, BIN telah melakukan sejumlah langkah antisipatif di antaranya melakukan patroli siber 24 jam.
BIN, kata Wawan, juga punya akun-akun media sosoal yang bisa berkomunikasi langsung dengan generasi milenial tersebut maupun masyarakat secara umum.
Melalui akun-akun tersebut, kata Wawan, BIN banyak melakukan tanya jawab dengan mereka.
Di sanalah, kata Wawan, BIN memberikan jawaban-jawaban terbaik untuk pembinaan mereka terutama dalam pembinaan mental ideologi.
Selain itu, kata Wawan, BIN juga melakukan upaya-upaya pembinaan kepada mereka-mereka yang melakukan ujaran kebencian, atau menyebarkan ajaran-ajaran yang mengajak ke arah permusuhan.
"Beberapa di antaranya bisa kita lakukan pembinaan. Tapi yang tidak bisa dibina dan bahkan cenderung tidak baik ya tentu menjadi target untuk diamankan, ditindak secara pidana. Sebagian yang lain di antaranya memang dilakukan blocking, ataupjn take down, dan sejenisnya. Ini kerja sama dengan Kemenkominfo," kata Wawan.