Saat itu Effendi mengaku meminta agar kuota pengadaan bansos juga diberikan kepada UMKM.
"Jangan orang terzalimi dong, kan tidak semua orang itu apa namanya langsung jatahnya diambil dibagi-bagi sama yang besar-besar, yang itu kan tujuannya adalah UMKM dan dia tidak didirikan hanya pada saat proyek itu," kata Effendi.
Effendi menyebut terzalimi yang dimaksudnya adalah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar.
"Ya kan kalah bersaing dengan dewa-dewa. Ya karena kuotanya sudah habis diambil dewa-dewa," katanya.
Namun demikian, Effendi menampik pernyataannya tersebut terkait kuota salah satu UMKM, yakni CV Hasil Bumi Nusantara.
Berdasarkan informasi, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 162.250 paket pada tahap pertama dengan nilai kontrak Rp48.675.000.000.
Pada tahap ke-8, CV Hasil Bumi Nusantara mengerjakan 20.000, dengan pelaksana Susanti.
"Jangan berbicara satu, kami waktu itu berbicara tentang banyak yang UMKM, mengenai siapa kemudian dapat berapa silakan tanya ke penyidik," ucap Effendi.
Sayangnya, Effendi tidak menjelaskan secara terang maksud pernyataannya mengenai 'dewa-dewa' itu.
Bak melempar bola panas, Effendi justru mempertanyakan kapan pihak-pihak yang lebih besar atau 'dewa-dewa' terkait kasus bansos ini dipanggil dan diperiksa oleh penyidik KPK.
"Saya sudah datang saya sudah dipanggil sudah memenuhi panggilan walaupun cuma di WA (WhatsApp) ya kan, saya datang yang besar-besar kapan nih dipanggilnya, silakan bapak dan ibu cari sendiri," tutur dosen Universitas Indonesia itu.
KPK sejauh ini baru menetapkan lima orang tersangka kasus dugaan suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Yakni, Juliari Peter Batubara selaku Mensos bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku PPK Kemsos serta dua pihak swasta bernama Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Van Sidabukke.
Diduga Juliari dan dua anak buahnya menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.