TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama berencana meratifikasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).
Plt Kepala BPJPH Mastuki mengatakan selama ini Indonesia telah memiliki Sistem Jaminan Halal (SJH) atau Halal Assurance System (HAS).
Sistem ini yang selama ini berlaku dan dijalankan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM-MUI).
"Berdasarkan rapat koordinasi yang dilakukan, Pimpinan DHN MUI berniat memberikan dokumen sistem jaminan halal (SJH) atau HAS kepada BPJPH. Ini kan gayung bersambut," ungkap Mastuki melalui keterangan tertulis, Rabu (31/3/2021).
SJH atau HAS ini yang rencananya akan diratifikasi. Mastuki menjelaskan, ratifikasi yang dimaksud adalah adopsi dan adaptasi dokumen yang sudah ada menjadi dokumen baru yang akan diberlakukan secara nasional.
Dalam hal ini, meratifikasi SJH menjadi produk hukum baru Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Ke depan, peraturan ini akan dijadikan pedoman semua pemangku kepentingan halal.
Pilihan meratifikasi SJH menjadi SJPH, menurut, Mastuki menjadi pilihan rasional untuk mempercepat pelayanan jaminan produk halal di Indonesia.
Baca juga: AstraZeneca Masih Jadi Polemik, Ketua DPD RI Berharap Utamakan Vaksin Halal
"Daripada BPJPH menyusun lagi SJH yang butuh waktu lama dan diskusi panjang dengan berbagai lembaga/instansi, kenapa tidak mengadopsi saja SJH yang sudah ada. Itu alasannya," jelas Mastuki.
"Dalam regulasi kita mengenal istilah sistem jaminan produk halal atau SJPH. Sementara dokumen LPPOM MUI bernama sistem jaminan halal atau HAS-23000," tambah Mastuki.
Selain itu, di PP 39 tahun 2021 ada banyak pengaturan baru terkait standar halal. Misalnya standar halal pernyataan pelaku UMK, yang biasa disebut halal self declare.
"Belum lagi standar kompetensi pendampingan halal, kerjasama lembaga halal luar negeri, dan sebagainya. Jadi dokumen itu perlu penyesuaian, atau dikaji ulang," ucap Mastuki.
Mastuki menekankan dalam proses adopsi dan adaptasi dokumen SJH itu pihaknya akan mengkaji kembali bersama pihak-pihak yang kompeten.
Hal itu dilakukan agar proses ratifikasi sesuai dengan regulasi halal terbaru. Di samping menyesuaikan dengan perkembangan zaman, standar halal, dan isu halal yang terjadi di level nasional maupun global.