TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid membeberkan sejumlah faktor pemantik radikalisme yang jika dibiarkan akan menjadi ancaman faktual atau yang biasa disebut faktor korelatif kriminogen.
Berdasarkan ilmu kriminologi, kata Ahmad, setiap manusia punya potensi radikal.
Potensi radikal itu, kata dia, akan muncul menjadi niat radikal kalau dipantik beberapa faktor yang sering disebut faktor korelatif kriminogen.
Faktor pemantik tersebut, lanjut Ahmad, yang paling utama adalah politisasi agama yakni menjadikan agama alat politik untuk kekuasaan dan sebagainya.
Baca juga: Ini Ucapan Terakhir Terduga Teroris ZA kepada Ibunya Sebelum Tinggalkan Rumah
Faktor kedua adalah pemahaman agama yang tidak utuh dan menyimpang.
Dalam konteks agama Islam, hal tersebut dimaknai sebagai iman, Islam, jihad atau khilafah.
Padahal, kata dia, seharusnya iman, Islam, dan puncaknya adalah ihsan atau akhlak.
Kemudian faktor ketiga adalah ketidakadilan sosial, kemiskinan atau kesejahteraan, pendidikan, ketidakpuasaan sosial politik, kebencian, dendam, faktor sistem pemerintahan, dan sistem hukum yang lemah.
"Sistem pemerintahan yang lemah di sini adalah, pemerintah tidak boleh abai, tidak boleh lemah, harus bersikap tegas dan terukur," kata Ahmad saat berkunjung ke kantor Redaksi Tribunnews.com pada Kamis (1/4/2021).
Sedangkan faktor sistem hukum yang lemah di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 hanya menjangkau aspek tindakan perbuatannya dan belum menjangkau aspek ideologi yang menjiwai aksi terorisme.
Jika niat tersebut bertemu dengan sejumlah faktor lain di antaranya kesempatan, peluang, momen, lingkungan yang radikal, ustaz yang radikal, pengajian radikal, kelompok pergaulan media sosial yang konten-kontennya radikal, guru radikal, support dana logistik maka akan mendorong atau menarik orang tersebut untuk berbuat radikal.
"Niat ketemu kesempatan terjadilah kejahatan. Niat ketemu kesempatan terjadilah radikalisme dan terorisme. Polanya seperti itu, jadi bisa menyasar siapa saja ya, terutama generasi muda, kaum milenial," kata Ahmad.
Ahmad juga menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama bukan monopoli satu agama, tapi ada di setiap agama, sekte, kelompok, bahkan potensial pada setiap individualnya.
Siapapun dia, kata Ahmad, berpotensi untuk terpapar.
"Makanya saya sering mengistilahkan virus, virus HIV-AIDS, Virus Covid 19, ini kan bisa memapar siapapun tanpa memandang suku, bangsa, budaya, agama, latar belakang pendidikan dan sebagainya," kata Ahmad.